Minggu, 31 Juli 2011

Mengokohkan Keintiman Pernikahan


MENGOKOHKAN KEINTIMAN PERNIKAHAN
Oleh : Munbazigh, S.Ag, MHI

Menikah itu mudah. Tapi menjalani pernikahan yang bahagia, itu lain perkara. Romantisme dalam fiksi maupun cerita seringkali membuat orang –terutama pasangan mudah menganggap bahwa pernikahan itu pasti bahagia selamnya. Nyatanya setelah bulan madu usai, kita seolah berhadapan dengan seseorang yang asing yang berbeda dengan orang yang selama ini kita kenal. Perselisihanpun kian sering terjadi. Ketika masing-masing asyik dengan kesibukan kerja, semuanya kian menjadi berat. Apasih masalahnya?. Ini yang selalu menjadi pertanyaan dan sulit ditemukan jawabannya.

Mencari Keintiman
Ada saatnya pernikahan seolah bak sebuah ’tugas’ dimana yang ada hanyalah untuk melakukan ini dan itu. Kewajiban tentu saja memang ada, dan memang harus diselesaikan , namun pernikahan yang tak lagi memiliki dasar keintiman yang tulus akan membuat suasana menjadi tidak menyenangkan. Terkadang  pasangan suami isteri mendapati pernikahan mereka begitu hambar, bagaikan dua orang kesepian yang tinggal dalam satu rumah.
Keintiman memang bukan harga mutlak. Setiap pernikahan memiliki warnanya tersendiri. Misalnya ada pasangan yang merasa keintiman adalah hidup tenang dan damai dengan kasih sayang yang melimpah. Menurut Howard J. Clenebell & Charlotte H. Clenebell dalam bukunya The Intimage Marriage,  keintiman bukanlah soal berapa banyak waktu yang anda gunakan untuk bersama-sama dengan pasangan, namun seberapa dalam rasa saling membutuhkan dan melengkapi dalam sebuah hubungan suami isteri. Ketika suatu hari pernikahan ini mengalalami kejenuhan dimana suami isteri menjalani pernikahan hari demi hari dengan rutinitas, atau salah satu dari pasangan mereka ada yang salah, maka perlu dilakukan penyegaran. Mungkin saat itu terjadi krisis keintiman.
Krisis keintiman dalam sebuah pernikahan, menurut pasangan clinebell, terjadi dalam tiga tahap: Tahap pertama, saat mulai berpacaran. Saat itu seseorang baru mulai belajar memahami pasangannya. Mereka merasakan kedekatan namun juga terasa ada jarak saat yang bersamaan.
Kedua, krisis muncul saat pertama kali memasuki jenjang pernikahan. Biasanya tahap ini berlangsung selama dua sampai lima tahun. Kedua pasangan harus banyak belajar tentang pasangan masing-masing dan diri sendiri. Keduanya mulai berhadapan dengan masalah. Saat ini, dua kepribadian saling menempa untuk saling memberi dan menerima satu sama lain.
Ketiga, ketika pasangan kira-kira mencapai usia 40 sampai 50 tahun. Pada masa ini, anak-anak sudah mulai besar dan meninggalkan rumah untuk sekolah, bekerja atau menikah. Saat inilah pasangan dihadapkan kembali untuk menfokuskan diri dalam hubungan pernikahan. Tadinya, mungkin saja fokus keduanya ada pada anak-anak. Selain itu pasangan mulai berhadapan dengan proses penuaan (aging).
Jika pasangan berhasil melewati tahap pertama dengan baik, maka kemungkinan mereka akan melewati tahap berikutnya dengan mulus pula. Namun, jika tahap awal tak dapat dilewati dengan baik, maka tahap selanjutnya akan menimbulkan masalah yang lebih parah. Jika dinding yang ada diantara pasangan tidak segera dirobohkan, maka dinding itu akan semakin tinggi dan semakin sulit diatasi. Menurut Erik Erikson, keintiman yang dibawa sejak masa awal pernikahan memberikan kemampuan yang esensial untuk dapat menghadapi tantangan selanjutnya.

Hambatan Keintiman
Jika pasangan memang bertujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan keintiman pernikahan, maka penting untuk mengenal apa yang menjadi penghambat keintiman mereka. Hal yang mendasar yang amat mempengaruhi adalah kematangan dirinya sendiri, keyakinan akan siapakah dirinya, bagaimana pandangannya, dan nilai-nilai yang dipegangnya. Ini semua seharusnya sudah dilewati pada masa puber, artinya : menjadi dewasa sebelum menikah. Toh  nyatanya bisa dibilang tak ada orang yang benar-benar sukses melewati tahap ini.Namun tingkat kematangan setiap orang berpengaruh terutama pada krisis tahap pertama.
Seringkali pernikahan yang terlalu muda memicu masalah karena pasangan muda ini masih sibuk mencari siapa diri mereka, tak punya cukup waktu atau pengalaman untuk membentul kepribadian yang kuat. Ini tentu saja bukan fondasi yang baik sebagai dasar suatu pernikahan. Idealnya pasangan sudah menyelesaikan hal itu sebelumnya, dan bersama-sama saling mendukung dalam menghadapi perjuangan berikutnya.
Pada saat ini sulit bagi seseorang untuk menjalin hubungan yang baik dengan pasangannya. Pasalnya, ia pun masih sulit berdamai dengan dirinya sendiri. Ada perasaan yang tak dapat dipahaminya sehingga ketika perasaan itu datang dari orang lain, ia pun sulit memahami dan merespon dengan tepat. Akhirnya hambatan komonikasipun datang. Sulit bagi seseorang untuk mendedikasikan dirinya dalam pernikahan sampai ia mencapai pengertian yang benar tentang dirinya sendiri. Baginya, keintiman bak ancaman, karena membuatnya harus kehilangan dirinya. Seseorang yang menngenal dirinya dengan baik dan sadar akan kelebihan dan kekuarangannya, ia akan mencari tingkat keintiman yang lebih baik dalam pernikahan.
Hambatan biasanya bersumber dari ketidakmatangan emosi, takut terluka, perasaan bersalah dan rendah diri. Yang disebut terakhir ini membuat seseorang merasa tidak layak untuk dicintai, sehingga timbul penolakan. Daripada ditolak lebih baik tidak terlalu dekat sehingga tidak berisiko terhadap itu. Ketika ia menikah, ia hanya ingin mendapatkan sesuatu, tetapi merasa tidak mempunyai sesuatu untuk diberikan.
Beberapa hal terkadang membuat masalah dalam perkawinan tak tampak atau semu.  Dua di antaranya adalah pseudo intimacy dan ghost marriages. Dalam pseudo intimacy pasangan bisa tampak begitu dekat, namun kenyataannya intim dalam keadaan tertentu saja. Ghost marriage dikatakan sebegai pernikahan bayangan. Seseorang seolah-olah memagari dirinya sendiri, terjebak dalam tawanan masa lalu. Untuk lepas dari itu dan hidup di masa kini, perlu perjuangan yang keras dan mungkin menyakitkan.
Pada orang-orang tertentu hal itu termotifasi dalam pernikahan bayangan yang dibentuknya mirip pernikahannya orang tuanya dahulu, sehingga ia tak dapat menikmatinya. Ia memproyeksikan figur orang tuanya pada pasangannya –baik itu karena kenangan baik ataupun kenangan buruk. Kondisi ini seringkali memicu pertengkaran pada suami isteri. GM dalam bentuk lain adalah kompetisi pernikahan. Seseorang bersaing dengan saudaranya untuk mendapatkan yang terbaik dalam pernikahan. Bahkan ia bersaing dengan pasangannya sendiri untuk menunjukkan bahwa ia layak dicintai dan dihargai. Biasanya inipun berakar dari masa lalu.

Apa yang harus dilakukan?
Jika dikatakan bahwa “komonikasi adalah kuncinya” apakah anda bosan mendengarnya?. Semoga tidak, sebab memang komonikasi adalah pemecahan yang terbaik. Begitu pentingnya komonikasi, bahkan salah satu cara untuk mengukur tingkat kedalaman hubungan pasangan adalah seberapa banyak komonikasi apapun bentuknya dilakukan pasangan suami isteri.
Memang komonikasi tak selalu menjadi ’terapi’ satu-satunya. Terkadang pada kasus tertentu kita perlu bantuan profesional, misalnya psikologi atau konselor perkawinan untuk membantu memecakan masalah kita. Komonikasi tak hanya disampaikan secara verbal. Seringkali, tindakan lebih keras berbicara ketimbang kata-kata. Bahkan ketika pasangan bertanya ”jam berapa kamu pulang nanti?’ terdapat banyak makna yang bisa ditangkap dari sekadar lima kata itu. Intonasi, sikap,  dan cara penyampaian menunjukan bahwa mereka adalah  suami isteri, akan mempengaruhi orang yang mendengar pertanyaan itu.
Untuk memperkuat komonikasi pasangan perlu belajar memilih cara berkomonikasi.  Ada banyak cara untuk mengatakan ”Saya mencintaimu” misalnya. Anda bisa mengatakan dengan pandangan mata yang penuh cinta, duduk didekatnya dalam keramaian, dengan menulis pesan-pesan kecil yang diletakkan ditempat istimewa, dengan sentuhan, atau dengan hadiah-hadiah kecil.
Selain itu pasangan juga harus belajar mendengarkan. Seringkali, seseorang yang merasa pasanganya tak mau mendengar dan mengerti ternyata karena iapun tak mau mendengarkan pasangannya, seseorang harus bisa mengerti isi pandangannya. Mendengarkan dengan sungguh-sungguh, penting bagi pasangan suami isteri. Komonikasi tak semata masalah teknis –berbicara den mendengar, namun didalamnya terdapat kesungguhan dan menghormati apa yang disampaikan pasanganya.
Hal lain yang harus dipelajari adalah kejujuran. Sampaikan apa yang hendak disampaikan. Harus diakui bahwa tak ada komonikasi yang bisa terus menerus berjalan harmonis. Jadi anda harus mengetahui kapan waktu pendukung, memberi atau menyatakan ’Aku sayang kamu’. Jangan menganggap bahwa pasangan pasti sudah tahu perasaan Anda, dan jangan ragu untuk menyatakannya lagi.
Perlu dipahami bahwa dalam pernikahan ’aku’ dan  ’kamu’ menjadi ’kami’. Melakukan sesuatu dan mengejar sesuatu keinginan hanya berkaitan dengan ’aku’ akan membangun dinding penghalang dengan pasangan. Menikah berarti memiliki keluarga, yang bukan untuk tempat pulang melainkan sebagai pusat. Keinginan mengembangkan diri sah-sah saja, namun perlu apa penyesuaian karena status seseorang yang menikah tidak hanya ’aku’.
Keintiman spiritual juga merupakan kunci sukses pernikahan. Keintiman spriritual menunjukkan hal vital dari suatu hubungan dimana kerapuhan dan kesedihan kita sampaikan. Hubungan dengan Tuhan sangat berkaitan erat dengan kemampuan dengan manusia. Kepercayaan vertikal pada Tuhan terutama juga sangat berguna ketika tekanan pernikahan itu datang, dan kepercayaan horisontal tampak sulit dipegang. Pernikahan yang langgeng bisa diciptakan, tergantung bagaimana komitmen suami isteri dalam memandang lembaga perkawinan sebagai sesuatu yang sakral.    
(Disarikan dari Majalah Perkawinan & Keluarga N0. 407)

0 comments:

Posting Komentar