Selasa, 19 Juli 2011

Nikah Sirri (Sebuah Study Analisis)

Nikah Sirri (Sebuah Study Analisis)
Oleh: Muhammad Taufik

A. Pendahuluan
Allah telah menciptakan manusia pertama yaitu Adam yang berbeda dari makhluk ciptaan lainnya. Bila malaikat diciptakan dari cahaya tanpa mempunyai hawa nafsu, maka iblis diciptakan dari api . Sedangkan Adam diciptakan Allah dari tanah hal ini pernah dalogikan oleh Iblis dengan Allah. Adam pertama kali tinggal di surga seorang diri tanpa teman, karena ia merasa kesepian itulah Allah lalu memberikannya pendamping hidup yaitu Hawa, mereka berdua hidup di surga dengan damai, sampai akhirnya mereka digoda oleh iblis untuk memakan buah khuld (buah keabadian) padahal Allah telah melarangnya, akibatnya mereka berdua diusir Allah dari surga, sebagaimana telah dijelaskan dalam QS. Thaha: 117-119 . 
Menurut pakar ilmu tafsir Qurays Syihab ada hikmah sesungguhnya atas pengusiran Adam dan Hawa dari surga tersebut, bahwa mereka mendapat pengalaman selama di surga yaitu berupa kelalaian mereka yang bisa tergoda oleh rayuan manis iblis untuk menjalani kehidupan di dunia yang jauh lebih berat dan sulit dengan menjadikannya mempunyai istri. Allah telah menyempurnakan penciptaan Adam dengan nafsu syahwat, yaitu keinginan manusia untuk menyalurkan dorongan kebutuhan biologis (nafsu seksual) sebagai media perkembangan manusia selanjutnya, (lihat QS. Ali Imron: 14). Untuk memudahkan dan sebagai legitimasi halalnya penyaluran nafsu syahwat itu maka di sinilah urgensinya sebuah ikatan perkawinan. Perkawinan merupakan syariat Islam yang mengatur penyaluran gairah seksual dengan cara terhormat, beradab dan memiliki orientasi yang sangat mulia, (lihat QS. ar Rum: 21). Inilah latar belakang asal muasal manusia, kodrat manusia yang berpasang-pasangan, serta ajakan kepada manusia untuk hidup sesuai dengan tatanan, tuntunan agama dan pula dengan tatanan kehidupan bermasyarakat.

B. Permasalahan
Manusia sebagai makhluk sosial (social Human) yang membutuhkan pendamping hidup yang hal ini sudah merupakan sebagai hukum alam (low of natural) yang tidak dapat dipungkiri, cuma tentu saja sesuai antara yang diinginkan syari’at dan kenyataan di lapangan (antara das sein and das sollen). Dalam realitas-historis kehidupan manusia dari dulu hingga saat ini banyak ditemukan pembangkangan terhadap syari’at Allah, ini bisa terjadi karena kurangnya pemahaman keagamaan yang mereka ketahui dari dakwah Islam atau karena nafsu manusia yang rakus yang suka mengumbarnya. Misalnya orang suka mengoleksi gundik-gundik sebagai pemuas nafsu seksnya, ada wanita yang mempunyai suami lebih dari satu (poliandri), adanya sepasang laki-laki perempun hidup bagaikan binatang (kumpul kebo), samen leven, pria hidung belang, tante girang, dan dunia prostitusi yang seakan-akan “dilegalkan” karena adanya tempat khusus untuk lokalisasi yang di dalamnya ada transaksi seks, bahkan makin berkembang sebagai industri seks yang sudah bukan rahasia lagi. Di lain pihak semakin maju dan berkembangnya peradaban manusia kehidupan seks yang bebas (free seks) sudah menggejala dan menggila di kota-kota dan bahkan merambah ke pelosok-pelosok negeri. Fenomena di atas kalau boleh kita sebut sebagai pengingkaran kepada syari’at Allah karena boleh jadi mereka tidak tahu akan efeknya, atau tahu tapi sengaja melanggarnya, atau bahkan ini bisa dianggap sebagai trend abad modern yang menghalalkan segala cara untuk mengumbar hawa nafsu. Maka yang terjadi, atas dasar berlindung di balik dalil agama muncul trend nikah sirri di kalangan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim ini. Ada apa dengan praktek nikah sirri dan bagaimana implikasinya secara sosial dan religiusitas masyarakat? Inilah yang sesungguhnya menjadi problematikanya. Dalam hal ini penulis mencoba menganalisanya melalui pendekatan (aproach) hukum dan pendekatan filosofi.

C. Pembahasan
Dalam hukum Islam dan hukum formal berbagai negara termauk di Indonesia sesungguhnya tidak dikenal dengan adanya nikah sirri. Kalaupun ada hanya dikenal istilah “kawin pinjam” yang terjadi pada masa pra Islam (qoblal Islam) jahiliyah dan “kawin kontrak” (mu’tah). Yang dimaksud nikah pinjam sebagaimana diungkapkan oleh Ummul Mukminin Siri Aisyah RA adalah seorang laki-laki berkata pada istrinya setelah bersih dari haidnya : Pergilah pada si fulan dan berkumpullah dengannya sedangkan suaminya sendiri berpisah darinya (tidak menidurinya) sampai jelas istrinya itu hamil dari laki-laki yang diminta mengumpulinya tersebut . Sedangkan kawin kontrak (mu’tah) adalah nikah yang dibatasi dengan adanya kontrak yang disepakati masanya. Praktek nikah ini sudah ada pada masa awal Islam dan masa kini. Kalu masa kini kelompok Islam yang masih permissif dengan tradisi nikah kontrak ini adalah kelompok Syi’ah. Sedangkan kelompok Ahlussunnah Waljama’ah sudah menghapusnya. Karena pernikahan yang sesungguhnya menurut pendapat mahzab Syafii adalah aqad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha’ (senggama) dengan lafal nikah atau tazwij atau yang semakna dengan keduanya. Sedangkan menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhann Yang Maha Esa (pasal 1).
Dalam praktek Islam perkawinan dianggap sebagai perjanjian yang kokoh dan berat (lihat an Nisa’ ayat 21), yang menuntut semua orang yang terikat di dalamnya untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing dengan penuh kemasyarakatan maupun keagamaan. Sedangkan yng umum diketahui secara terminologis tentang nikah sirri adalah pernikahan yang dilakukan berdasarkan agama Islam namun secara sembunyi-sembunyi yng tidak dicatatkan di depan Pegawai Pencatat Bikah di KUA. Arti kata sirri sendiri dalam bahasa Arab adalah sembunyi atau pelan. Di Indonesia tidak terdapat bukti yang menguatkan kapan sebenarnya praktek nikah sirri ini bermula. Yang pasti sampai sekarang prakteknya masih ada di dalam masyarakat luas. Dengan berlindung di balik dasar agama mereka melakukan praktek nikah sirri itu. Bagi mereka pendukung nikah sirri ini, menikah yang penting sah menurut agama Islam, tidak sah menurut hukum legal formal bagi mereka tidak masalah. Karena selama ini memang belum ada sangsi hukum yang tegas bagi pelaku nikah sirri tersebut.
Dalam Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak menyebutkan satu pasalpun tentang sangsi hukum bagi orang yang tidak mencatatkan perkawinannya di KUA. Walaupun disebutkan ada salah satu pasal yang mengatur tentang perlunya dicatat perkawinan seseorang, yaitu pasal 2 ayat 2, yang berbunyi : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut pertauran perundang-undangan yang berlaku. Inilah yang menyebabkan selama ini merebaknya praktek nikah sirri di Republik ini karena tidak adanya sangsi hukum bagi yang tidak mencatatkan perkawinanya.
Bila dianalisis secara cermat praktek nikah sirri itu mempunyai banyak kelemahan, di antranya :
Pertama, nikah sirri itu sendiri sesungguhnya juga bertentangan dengan subtansi nikah dalam Islam yang harus diumumkan secara terbuka dengan mengadakan resepsi pernikahan (walimah), bukan untuk disembunyikan. Faktanya orang yang melakukan nikah sirri itu merasa puas dengan melengkapi 5 rukun nikah (yaitu calon suami, calon istri, wali, 2 orang saksi, dan ijab-qobul) saja, tanpa sepengetahuan masyarakat bahkan tetangganya sendiri. Hal ini sesuai dengan sebuah sabda Nabi Muhammad yang mengatakan : “Umumkanlah (akad) perkawinan dan selenggarakan di Masjid dan kemudian rayakanlah dengan suara rebana” (HR. Tirmizi). Hadits ini merupakan perintah Nabi kepada umat Islam agar pernikahan itu diumumkan bukan untuk ditutup-tutupi, sehingga berbagai pihak temasuk Pemerintah yang dalam hal ini KUA tidak tahu menahu adanya peristiwa nikah yang terjadi. Dalam sebuah hadits sahih sebagaimana dikatakan Nabi saat menjelang pernikahan Abdurrahman Bin ‘Auf : “Semoga Allah memberkahimu. Selenggarakanlah walimah, walau hanya dengan seekor kambing” (HR Bukhari Muslim). Hadits ini jelas merupakan anjuran Nabi betapa pentingnya walimatunnikah (resepsi pernikahan) itu diadakan secara terbuka kepada masyarakat luas.
Kedua, melanggar azas untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing dengan penuh keadilan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan, baik dalam fungsi sosial kemasyarakatan maupun keagamaan. Dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat pelaku dan pendukung nikah sirri tidak taat pada aturan atau UU yang berlaku dalam penegakan syariat agama. Padahal mereka hidup dan tinggal di negara Indonesia yang berdasarkan hukum.
Ketiga, perempuan adalah pihak yang paling dirugikan dalam praktek nikah sirri, oleh karena itu kaum perempuan harus berani menolak bila dinikahi secara sirri, karena bisa terjadi suami sirinya meninggalkannya begitu saja maka ia tidak dapat menuntutnya di depan hukum karena tidak adanya bukti tertulis secara yuridis-formal bahwa mereka itu berstatus sebagai suami istri.
Keempat, anak yang lahir dalan nikah sirri hanya bisa dinasabkan dengan nama ibunya tanpa menyebut nama ayah sesungguh nya dalam akte kelahiran yang dikeluarkan Pemerintah.
Kelima, bila suami sirri meninggal dunia, istri dan anaknya tidak dapat mewarisi harta benda peninggalannya karena di depan hukum harus ada bukti sah bahwa mereka memang menikah dan dicatatkan. Karena salah satu syarat proses pengurusan warisan adalah dengan menunjukkan surat nikah yang bersangkutan.
Keenam, pelaku nikah sirri itu adalah bukti orang yang tidak taat hukum, pengecut dan tidak bertanggung jawab. Karena mereka yang menikah sirri itu hakikatnya tidak mematuhi hukum tidak berani terus terang karena mereka biasanya kebanyakan sudah menikah sah, tapi supaya tidak diketahui istri sahnya mereka mengambil cara ini. Selain itu mereka adalah orang yang suka lenggang-kangkung bila diminta pertanggungjawabannya jika terjadi sesuatu masalah di belakang hari.
Bila dilakukan analisis secara sosio-kultural secara lebih jauh pelaku nikah sirri terbagi dalam dua kelompok.
1. Kelompok terpelajar dan berduit. Di dalamnya termasuk selebritis, Mahasiswa, dan pejabat tinggi yang melakukan praktek nikah sirri supaya tidak diketahui oleh publik, oleh istri sahnya, atau bagi mahasiswi agar orang tuanya tidak tahu. Mereka ini adalah orang yang tahu sesungguhnya nikah sirri itu tidak baik dan melanggar etika dan hukum formal yang berlaku. Tapi mereka tetap melakukannya dengan alasan sederhana lebih nikah sirri daripada berzina atau selingkuh, toh hukum syari’at Islam menyatakan boleh.
2. Kelompok orang biasa (awam). Praktek nikah sirri pada kelompok ini terjadi di masyarakat yang minim pengetahuan agama dan informasi karena beberapa sebab. Di antaranya lemahnya posisi tawar istri (bergining position) istri krena takut dicerai suami dengan alasan faktor ekonomi. Atau mereka melakukan praktek nikah sirri karena tidak tahu/malas berurusan dengan tetek bengek administrasi nikah dari mulai tingkat RT, RW, Dukuh, Kelurahan, Kecamatan, Puskesmas dan sampai KUA. Sehingga mereka enggan untuk mencatatkan nikahnya. Sementara nikah sirri cukup mudah mereka lakukan kapanpun dan dimanapun tanpa dibebani berbagai syarat dan urusan yang harus dipenuhi. Jadi tidak mengherankan bila mereka yang masuk dalam kelompok ini tidak akan tahu akibat praktek nikah yang mereka lakukan tersebut karena minimnya pengetahuan merka akan pentingnya nikah yang legal-formal.
Faktor pendukung tetap terjadinya praktek nikah sirri tersebut paling tidak beberapa hal sebagaimana di bawah ini :
1. Belum adanya Undang-undang yang mengatur larangan nikah sirri. Di DPR belum lama ini baru muncul wacana (diskursus) untuk membuat RUU tentang larangan nikah sirri dan masalah sosial yang berkaitan dengannya yang diperjuangkan oleh sebagian umat Islm yang concern (peduli) tentang masalah-masalah aktual dan citra positif Islam.
2. Adanya dikhotomi pemahamn nikah yang berdasarkan syariat Islam dan bedasarkan Undang-undang formal yang dibuat negra. Sehingga bagi yang berpegang dengan hukum syari’at Islam sudah merasa cukup dan sah pernikahannya walaupun negara tidak mengakuinya, karena alasannya negara Indonesia dalah negara sekuler bukan negara Islam.
3. Adanya sebagian “tokoh agama” yang memberikan dukungan “lampu hijau” pada praktek nikah sirri dengan alasan fiqih klasik yang mereka anut, bhkan mengatasnamakan dirinya sebagai wali muhakkan pada banyak mahasiswi yang minta dinikahkan, dengan tanpa sepengetahuan orang tua (ayah) yang seharusnya menjadi wali nikah.
4. Harus diakui masih kurangnya sosialissi tentang penolakan nikah sirri oleh Departemen agama, yang di dalamnya termasuk KUA yang sudah barang tentu menjadi tugas dan garapannya.


D. Penutup
Dari paparan di atas paling tidak kita dapat analisa dengan pendekatan hukum dan argumen Qur’an-Hadits dari kelemahan-kelemahan dari praktek nikah sirri yang lebih banyak madharatnya dibanding manfaat yang didapat. Kita harus berusaha memberikan pemahaman berupa bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat Islam secara luas bahwa tidak baiknya praktek nikah sirri dilakukan karena lemahnya argumen/dalil yang digunakan. Di samping itu kita mencari solusi terbaik atau benang merah agar di masa mendatang nikah sirri itu bisa diminimalisir dan dieliminir dari kehidupan berbangsa, beragama, dan bernegara.

0 comments:

Posting Komentar