MENGGAPAI HIDUP SAKINAH
DENGAN BERASURANSI (SYARIAH)
Oleh : Rohwan, MSI
Sekilas tampak tidak ada hubungannya antara konsep “sakinah” dengan berasuransi, Tetapi jika kita kaji lebih lanjut akan nampak peranan yang cukup signifikan, bahwa dengan berasuransi (syariah) akan mendukung terwujudnya keluarga yang sakinah. Kita coba ingat kembali kembali bahwa diantara tujuan disyariatkannya perkawinan adalah membentuk keluarga yang senantiasa memperoleh ketenangan (sakinah ), cinta (mahabbah ) dan kasih sayang ( rohmah). Quraish Shihab menulis, kata Sakinah berasal dari kata sakana yang berarti tenang atau diamnya sesuatu setelah bergejolak. Perkawinan adalah pertemuan antara pria dan wanita, yang seharusnya menjadikan keduanya yang sebelumnya penuh gejolak dan gelora menjadi tenang dan tenteram setelah menikah.
Ketenangan yang dimaksudkan dalam konsep pernikahan adalah ketenangan sejati yaitu mulai dari awal pembentukan keluarga sampai akhir hayat. Tahapan berkeluarga yang biasanya banyak didambakan oleh kebanyakan orang setelah menikah adalah mempunyai anak, membuat rumah, bekerja/berusaha yang yang dapat mencukupi kebutuhan keluarga, bersosialisasi dan beribadah dengan tenang dan seterusnya. Dambaan tersebut tentu tidak salah dan sangat lazim, tetapi satu hal yang juga perlu dingat bahwa Allah Swt akan menguji kepada kita dengan sebuah ketidakpastian, musibah atau sebuah resiko kehidupan (mudah-mudahan kita terhindar darinya) yang mungkin dapat mengurangi ketenangan keluarga. Resiko tersebut bisa berupa anak sakit, kecelakaan, bangkrut dalam berusaha bahkan juga resiko kematian bagi anggota keluarga. Inilah yang dijelaskan dalam Al-Qur’an (QS, Luqman : 34)
Untuk itulah, sesama manusia harus saling tolong menolong dan saling menanggung antara yang satu dengan yang lainnya (QS, Al-Maidah/5 : 2). Dalam hadits Nabi SAW riwayat Imam Muslim digambarkan, adanya saling tolong menolong diantara umat Islam bagaikan satu tubuh; jika ada satu anggota masyarakat yang sakit, maka yang lain ikut merasakannya. Minimal dengan menjenguknya, atau bahkan memberikan bantuan. Tenggang rasa ini minimal dapat mengurangi beban penderitaan orang yang terkena musibah. Coba kita bayangkan seorang suami yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah, kalau tiba-tiba ditakdirkan oleh Allah, meninggal tentu sang isteri akan mengalami kesediaan yang mendalam, oleh karena itulah perlunya sesama muslim saling bertakaful (tolong menolong), ya paling tidak mengurangi kesedian misalnya dengan adanya jaminan biaya pendidikan bagi anak-anaknya. Konsep tolong menolong dalam menghadapi resiko inilah yang dalam konsep ekonomi syariah disebut at-ta,min (Asuransi) .
Sebenarnya ada berbagai cara bagaimana sebuah keluarga dalam menangani atau menghadapi resiko kehidupan atau terjadinya musibah. Cara pertama adalah dengan menanggungnya sendiri (risk retention), yang kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), dan yang ketiga, mengelolanya bersama-sama (risk sharing). Cara pertama sudah jelas, apaun yang terjadi ditanggung sendiri. Cara kedua dengan mengalihkan resiko ke fihak lain. Jadi kalau terjadi apa-apa, fihak lainlah yang menanggungnya. Konsep inilah yang melahirkan asuransi konvensional yang oleh kebanyakan ulama diharamkan karena mengandung unsur maisyir dan ghoror . Adapun cara yang ketiga adalah dengan ditanggung bersama-sama dalam komunitas besar sesama muslim, inilah filosofi dan dasar dalam asuransi syariah. Jadi, risk sharing inilah sesungguhnya esensi asuransi dalam Islam, di mana di dalamnya diterapkan prinsip-prinsip kerjasama, proteksi dan saling bertanggungjawab (cooperation, protection, mutual responsibility)
Asuransi pada awalnya adalah suatu kelompok yang bertujuan membentuk arisan untuk meringankan beban keuangan individu dan menghindari kesulitan pembiayaan. Secara umum konsep asuransi merupakan persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang masing-masing mengahadapi kerugian kecil sebagai suatu yang tidak dapat diduga. Apabila kerugian itu menimpa salah seorang dari mereka yang menjadi anggota perkumpulan itu, maka kerugian itu akan ditanggung bersama-sama oleh mereka. Dalam istilah ekonomi syariah dijelaskan bahwa Asuransi Syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (transaksi) yang sesuai dengan syariah, yaitu akad yang tidak mengandung; maysir (perjudian), gharar (penipuan) dan riba. Jadi berasuransi tidak bermaksud menolak kehendak Allah Swt, tetapi mengurangi dampak kesusahan khususnya dibidang finansial. Asuransi yang sudah berkembang di masyarakat antara lain, asuransi kesehatan (semisal Askes, Jamkesmas ) , asuransi kecelakaan, asuransi kebakaran, asuransi kehilangan, dan asuransi kematian.
Prinsip-Prinsip Asuransi Syariah :
Asuransi syariah memiliki prinsip yang berbeda dengan asuransi konvensional selama ini, prinsip tersebut adalah :
1. Saling membantu dan bekerja sama, prinsip ini berdasarkan Al-Qur;an surat Al-Maidah : 2) :
Dan juga hadits Nabi : “Barang siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan menenuhi kebutuhannya.” (HR. Bukhori Muslim dan Abu Dawud)
2. Saling melindungi dari berbagai macam kesusahan dan kesulitan, menghindari kebatila : QS. An-Nisa : 29 ;
3. Saling bertanggung jawab,
Islam mengajarkan manusia agar menghilangkan sikap mementingkan diri sendiri. Rasa tanggung jawab merupakan faktor yang mempererat rasa persatuan dan persaudaraan sesama manusia.
4. Menghindari unsur gharar, maysir dan riba
Islam menekankan aspek keadilan, suka sama suka dan kebersamaan termasuk dalam menghadapi resiko dalam setiap usaha yang dirintis. Aspek inilah yang menjadi tawaran konsep untuk menggantikan gharrar, maysir dan riba yang selama ini terjadi di lembaga konvensional.
Berdasarkan uraian tersebut, diharapkan keluarga sakinah (masa kini) hendaknya mulai menyadari akan segala kemungkinan yang terjadi dengan mengelola resiko secara berjamaah melalui konsep asuransi syariah, tentu saja dengan tetap memaksimalkan ihtiar, misalnya dengan menjaga kesehatan agar tidak sakit, berhati-hati di jalan agar tidak terjadi kecelakaan, cermat dalam berusaha dan lain-lain. Jika kita sudah berasuransi dan ternyata tidak terjadi resiko pada keluarga kita, tentu harus kita syukuri dan sejumlah dana yang sudah terlanjur dikumpulkan melalui lembaga asuransi syariah akan menjadi dana kebajikan (tabarru) yang sejak awal sudah kita ikhlaskan untuk menolong peserta asuransi lain (baca saudara sesama muslim) yang mengalami musibah.
M. Quraish shihab, wawasan al-Qur’an, ( Bandung : Mizan, 1998)
Produk-Produk Lembaga Keuangan Syariah, Dirjen Bimas Islam Kemenag RI : 2010
Modul Pelatihan Konsultan Takaful Asuransi Keluarga, Jogjakarta : 2010
0 comments:
Posting Komentar