Minggu, 31 Juli 2011

Ketentuan Pidana dalam UU Perkawinan


KETENTUAN PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN[*]
Oleh : Munbazigh, S.Ag

A.  Pendahuluan
Undang-undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9/1975 tentang aturan pelaksanaan UU No. 1/1974. Kemudian disusul dengan UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Sejak diberlakukannya UU No. 1/1974 sampai lahirnya KHI belum ada perkembangan yang signifikan tentang aturan yang mengatur perkawinan.
Salah satu kelemahan yang ada pada UUP adalah tidak di atur tentang adanya “sanksi pidana” yang ditimpakan atas para pelanggar peraturan perkawinan. Ketentuan pidana hanya diatur dalam PP No. 9 tahun 1975. Ketentuan pidana ini tidak efektif, bahkan menyalahi ketentuan peraturan perundang-undangan, karena dimuat dalam Peraturan Pemerintah, sedangkan induknya adalah Undang-Undang No. 1/1974 yang memuat ketentuan pidana. Pasal 45 PP No 9/1975 menyebutkan :
(1). Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka :
a.    Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10, ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan ketentuan denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
b.    Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6,7,8,9,10 ayat (1), 11,13,44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2.) Tindak pidana yang dimaksud ayat (1) di atas merupakan pelanggaran.

B.   Pembahasan
Melihat kelemahan-kelemahan yang ada pada peraturan perundang-undangan perkawinan  di atas maka pemerintah, dalam hal ini Badan Pembinaan Hukum Islam Departemen Agama mengajukan RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan ( RUU HTPA) yang dirumuskan pada tahun 2003, setelah Depag RI mencabut CLD KHI yang diajukan oleh Tim Pengarusutamaan Gender Depag RI. Salah satu rumusan yang dibuat adal dicantumkannya ketentuan sanksi pidana bagi pelanggar peraturan perundang-uandangan perkawinan. Ada 7 (tujuh) pasal tentang ketentuan pidana yang dicantumkan dalam RUU HTPA ini :
1.      Pasal 141 : “Setiap orang yang sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta Rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan.
2.      Pasal 142 : “Setiap orang yang melakukan perkawinan mut’ah dihukum dengan penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun, dan perkawinannya batal karena hukum.
3.      Pasal 143 : “Setiap orang melangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa mendapat izin terlebih dahulu dari Pengadilan, dipidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan.
4.      Pasal 144 : “Setiap orang yang menceraikan isterinya tidak di depan sidang Pengadilan dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau kurungan paling lama 6 (enam) bulan.
5.      Pasal 145 : “Pejabat Pencatat Nikah yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud pasal 4 dikenai hukumana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 12.000.000,-.
6.      Pasal 146 : “Setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 21 dipidana dengan pidana paling laman 3 (tiga) tahun.
7.      Pasal 147 : “Setiap orang yang tidak berhak menjadi wali nikah  dan dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah dipidana dengan pidana penjara paling lama (3) tahun.
8.      Pasal 148 : “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 141,143,144 dan 145 merupakan tindak pidana pelanggaran, dan tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 142, 146 dan 147 adalah tindak pidana kejahatan.
Adanya aturan ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Perkawinan ini akan membawa dampak yang positif  pada terlaksanya aturan-aturan perkawinan. Disamping itu akan lebih melindungi hak-hak perempuan terutama dalam masalah nikah sirri, poligami liar, nikah mut’ah dan perceraian di luar sidang Pengadilan yang selama ini masih banyak terjadi di masyarakat.


C.  Penutup
Melihat pada uraian di atas, bahwa ketentuan pidana yang dirumuskan dalam RUU HTPA ini, akan mempertegas sanksi bagi pelanggar UU Perkawinan yang selama ini masih banyak terjadi di masyarakat. Akhirnya kita berharap bahwa RUU HTPA ini akan segera disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR, sehingga bisa segera disosialisasikan dan dilaksanakan.
Akhirnya, semoga tulisan ini bisa membawa manfaat dan menambah wawasan bagi kita semua. Saran dan kritik serta tanggapan dari tulisan ini sangat kami harapkan, untuk lebih menambah wawasan kita.


   

  




[*] Disampaikan pada Pertemuan Kelompok Kerja Penghulu Kab. Bantul pada tanggal 20 Januari 2009

0 comments:

Posting Komentar