Jumat, 29 Juli 2011

Memetik Hikmah dibalik Musibah


MEMETIK HIKMAH DI BALIK MUSIBAH
Oleh : Muhammad Taufik

Dalam memori dan ingatan kita mencatat bahwa dari waktu ke waktu bencana alam datang menerpa negeri ini silih berganti tiada henti, seakan sebutan orang bahwa Indonesia adalah negara yang penuh bencana tidaklah salah sepenuhnya karena memang begitulah adanya.

Paling tidak kita mencatat beberapa musibah besar seperti tanggal 25 Desember 2004 terjadi gempa bumi dan gelombang Sunami di Aceh dan Nias Sumatera Utara yang menyebabkan korban jiwa ratusan ribu dan kehilangan harta benda yang tak ternailai jumlahnya, kemudian menyusul gempa bumi di Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah tanggal 27 Mei 2006 yang menyebabkan ribuan orang meninggal dunia dan ribuan rumah ambruk akibat kedahsyatan gempa tersebut, dan belum lama berselang awal Februari 2007 ini ibukota negeri ini kota metropolitan Jakarta dan sekitarnya lumpuh total selama seminggu akibat terendam banjir besar yng juga menyebabkan puluhan nyawa melayang. Dari berbagai musibah yang terjadi tersebut apa sebenarnya yang dapat kita petik sebagi hikmah? Berikut ini kita akan mencoba menganalisanya dari perspektif al Qur’an untuk mendapatkan jawabannya.
Al-Qur’an bukanlah kitab biasa seperti kitab-kitab agama samawi lainnya yang sudah mengalami berbagai perubahan, teteapi ia adalah kitab yang luar biasa yang mampu memberi jawaban, informasi yang terjadi pada masa lalu, sekarang dan masa mendatang (lingkaran historis). Apa yang telah dan akan terjadi di alam ini Al-Qur’an telah merekamnya sejak empat belas abad yang lalu sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tentang musibah atau bencanapun Al-Qur’an juga memberikan informasi yang lugas yang sangat berharga dalam kehidupan ini.
Dari perspektif atau sudut pandang Al-Qur’an sebenarnya sudah didemonstrasikan melalui ayat-ayat Qauliyah tentang musibah-musibah yang terjadi di alam jagad raya ini, yang kalau kita cermati secara seksama sebenarnya dapat diambil paling tidak tiga hikmah : pertama : bahwa musibah yang terjadi di dunia sebenarnya sudah ditentukan (tersurat)oleh Allah sebelumnya. Hal ini ditegaskanNya dalam surat al-Hadid ayat 22 yang artinya :
Setiap bencan yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dan Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum kami mewujudkannya. Sungguh yang demikian mudah bagi Allah.
Dari ayat tersebut di atas sangat jelas bagi kita bahwa semua bencana yang terjadi di bumi yang menimpa manusia sesungguhnya telah digariskan oleh Yang Maha Kuasa sebelum alam ini ada. Artinya kita sebagai hambaNya yang tak berdaya jangan sampai heran atau kaget bila diterpa bencana, apalagi sampai berpikir kenapa Tuhan menjatuhkan bencana kepada kita padahal kita senantiasa taat dan patuh mengabdi  dan menyembah kepadaNya sesuai dengan ajaran agama yang kita jadikan sebagai pegangan. Senada dengan hal ini memakai istilah Nurcholis Madjid bahwa agama berfungsi sebagai pegangan dan tuntunan hidup[2]. Oleh karenanya kita sebagai umat yang yakin dengan kebenaran agamanya mengimani dengan sepenuh hati bahwa bencana yang menimpa kita itu ternyata sudah tersurat dalam “Arsip”Nya Allah sesui dengan firmannya di atas.
Kedua, bencana itu merupakan bukti kekuasaan Allah yng tak terbatas. Hal ini juga sudah dipatrikanNya dalam surat Yasin ayat 82, yang artinya :
Sesungguhnya urusanNya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata: Kun (Jadilah!) maka jadilah sesuatu itu.
Bagi Allah tidak ada yang musykil (sulit) tapi semuanya mudah karena kekuasaanNya, apa saja yang dikehendakiNya tidak ada sesuatu kemampuan apapun yang bisa menandinginya. Jangankan menggoyangkan bumi menghancurkannya sekalipun bagi Allah sangat mudah. Dan hingga kini sehebat apapun ilmu manusia tidak akan mampu melawan kekuatan alam seperti gempa bumi, banjir bandang, gunung meletus dan banyak lainnya. Sebagai contoh kecil saja manusia mungkin bisa memprediksi berapa skala richter dan magnitudo terjadinya suatu gempa dengan kecanggihan ilmu pengetahuan[3] dan teknologi yang dimilikinya, tapi ingat sampai sekarang manusia tidak sanggup dengan kemampuan akalnya untuk memprediksi predictble) kapan akan terjadinya gempa dan lokasi akan terjadi gempa. Jadi masihkah kita hambanya yang lemah ini masih merasa arogan dan menafikan kekuasaan Allah yang dahsyat itu ?
Ketiga, bencana yang terjadi bukanlah kutukn tetapi ujian dan cobaan serta teguran kepada hambaNya. Hal ini sudah tersurat dalam firmanNya pada surat al-Baqarah ayat 155-156:
Dan kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kbar gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang pabila ditimpa musibah mereka Inna lilahi wainna ilaihi roji’un.
Kalau kita berpikir negatif (negative thinking) pada Allah mungkin kita berkat mungkin bencana itu merupaksn azabNya kepada hambaNya yang durhaka, lalu Allah murka sehingga menurunkan siksaan berupa bencana yang melanda. Namun kita harus berpikit positif (positive thinking kepadaNya, karena Allah mengazab suatu negeri hal itu terjadi bila semua penduduknya kufur, seperti yang disitir dalam Al-Qur’an yaitu kaum ‘Ad dan Samud yang dibinasakan dengan banjir dahsyat. Tapi untuk negeri yang kita cintai ini masih banyak hamba-hamba Allah yang taat dan patuh menjalankan perintah dan laranganNya. Dan barang tentu Allah tidak mengazab semua bila yng berbuat kufur kepada Allah hanya segelintir orang.
Dengan pikiran jernih mrilah kitalihat bahwa bencana yang terjadi ini lebih merupakan ujian dan cobaan Allah semata ketimbang kutukan sebab kita bukan hambaNya yang terkutuk, karena melalui ayat dijelaskan di atas bahwasanya Allah akan menguji kita dengan berbagai persoalan dan kesulitn. Persoalannya adalah mampukah kita menjastifikasi bahwa Allah sudah muak dan tidak sayang lagi kepada kita, (tidak seperti Ebid G. Ade bilang dalam lagunya mungkin alam sudah bosan bersahabat dengan kita) padahal kita tak pernah lalai menyembah kepadaNya. Karena memang realitanya menunjukkan bahwa ternyata banyak orang tidak sanggup menghadapi berbagai cobaan dari Allah, mereka ini patah arang dan tidak bersemangat menjalani hari esok, ada yang memilih Rumah Sakit Jiwa sebagai tempat tinggalnya, bahkan ada yang ekstrim menghadapi musibah justrus stress berat, depresi lalu endingnya bunuh diri (qotlu al nafs).
Kalau kita tarik ke belakang sebenarnya ada yang perlu kita garis bawahi bahwa bila bencana direspon sebagai teguran dari Allah mestinya kita intropeksi diri (ngaca diri) yakni bencana bisa juga terjadi akibat ulah kita sendiri. Misalkan kebakarang hutan di Sumatera dan Kalimantan yang menyebabkan bangsa lain menyindir negeri ini sebagai negeri pengekspor asap ke negeri orang, banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di berbagai wilayah tanah air, serta banjir yang menenggelamkan ibukota negara ini selama lebih sepekan, semua itu terjadi karena penzolim terencana manusia terhadap alam. Mari kita analisa dengan obyektif, kebakaran hutan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan terjadi karena praktek illegal loging (pembalakan liar) yang ditengarai dilakukan oleh cukong-cukong dalam dan luar negeri prakteknya setelah kayu dibabat, pembersihan lahan dilakukan dengan cara praktis dan serampangan yaitu dengan membakarnya, sehingga terjadilah kebakaran hutan dengan mudah karena memang itu terjadi di musim kemarau. Banjir terjadi sudah mudah ditebak karena resapan air sudah tidak ada penampungnya karena hutan gundul, sedangkan sungai sudah tak mampu menampung debit air yang melimpah dari hulu sedangkan sungai juga menjadi dangkal yang diperparah dengan banyaknya hunian di pinggir sungai dan sungai juga difungsikan sebagai tong sampah raksasa, maka akibatnya bisa dilihat hujan 2-3 jam saja sudah bisa mengakibatkan banjir. Kalau kita jadikan banjir seperti itu sebnagai teguran Allah sudah semestinya memang. Sebab manusia hanya mengeksploitasi alam bukan menjadi sahabat alam. Teguran Allah kira-kira berbunyi “lihatlah kalau kalian menzolimi alam maka alam bisa menghukum”. Dan sebenarnya Allah mendatangkan bencana itu supaya ada efek jera dan kapok kepada kita, supaya kita tidak lagi mengulang kesalahan yang sama di masa mendatang karena harganya terlalu mahal. Faktanya yang terjadi kita punya penyakit amnesia (lupa ingatan tidak permanen), sehingga kita selalu mengulang kesalahan yang sama di waktu yang sama. Padahal Allah sudah menegaskan dengan sangat jelas dalam firmanNya dalam surat ar-Rum ayat 41 :
Telah tanpa kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)
Kata kuncinya (key word) adalah bahwa marilah kita menjaga alam yang diberikan Allah sebagai karunia yang patut dilindungi dan dilestarikan, marilah kita membiasakan hidup bersih dan tidak mengotori, bukankah dalam Islam itu kebersihan merupakan sebagian dari iman. Kemudioan ambillah apa yang alam berikan kepada kita secukupnya saja dan tidak serakah, sebaiknya kita menghindari semua serba dimakan, kayu dimakan, aspal dimakan, minyak ditelan, bahkan penderitaan orang miskinpun dieksploitasi, dengan berkilah memperjuangkan nasibnya justru mereka tak peduli nasibnya tapi hanya menjadikan penderitaan orang kere sebagai jargon politik.
Entry pointnya adalah marilah kita belajar dari musibah dan bencana yang terjadi pada kita, kita petik sebagai pelajaran yang sngat berguna agar hidup kita berbahagia baik di duni maupun di khirat kelak. Yang perlu kita ingat adalah bahwa apa yang dikatakan al-Qur’an semuanya mengndung kebenaran.


[1] Makalah disampaikan pada pengajin rapat dinas Ikatan Kepala KUA se-Kabupaten Bantul Rabu tanggal 14 Februari 2007 di kediaman Bapak Ahmad Fauzi, S.Ag
[2] Lihat Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dn Perdaban (sebuah telaah kritis tentang msalah keimanan, kemanusiaan, dan kemoderenan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), hal. 328
[3] Menurut sosiolog dan filosofi muslim Ibnu Khaldun manusia berbeda dengan hewan karena rasionya yang dimilikinya ia dapat memperolah apa yang diinginkannya namun akalnya tetap saja terbatas, mestinya dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya manusia siap memahami siapa dirinya sesungguhnya. Lihat, Muqoddimah Ibnu Kaldun, terj. Ahmdie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hal. 533

0 comments:

Posting Komentar