Rabu, 27 Juli 2011

Peranan Pondok Pesantren

PERANAN  PONDOK PESANTREN
DALAM MEMBANGUN MASYARAKAT MADANI
Oleh : Rohwan, S.Ag

Dewasa ini masalah pendidikan menjadi perbincangan menarik bagi masyarakat tidak terkecuali bagi pakar  pendidikan. Segala permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat hampir dapat dipastikan pendidikan dituding sebagai penyebabnya. Hal ini dipengaruhi adanya paradigma bahwa pendidikanlah yang akan mampu mengubah status, struktur, pola pikir dan perilaku sesorang dari negatif menjadi positif. Dengan  kata lain apabila pendidikan tidak mampu menghasilkan manusia yang berkualitras maka tujuan pendidikan untuk mewujudkan manusia seutuhnya mengalami kegagalan.
Kegagalan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa factor,  baik intern maupun extern. Faktor intern bisa  disebabkan oleh komponen pendidikan itu sendiri, misalnya guru yang kurang professional, matode dan materi yang tidak sesuai, atau penyelenggaraan pendidikan yang tidak mampu menjawab tauntutan zaman. Sedang faktor extern dapat disebabkan karena pendidikan dalam keluarga dan pendidikan di masyarakat yang tidak mendukung. Dengan demikian tri pusat pendidikan ( baca pendidikan sekolah/ madrasah , keluarga, dan masyarakat ) menjadi factor penting dalam rangka mengantarkan terwujudnya  manusia seutuhnya . Sehingga  keterkaitan dan hubungan yang harmonis antar ketiga pusat pendidikan tersebut menjadi hal yang sangat menentukan  dalam membentuk manusia seutuhnya.[1]
Salah satu lembaga pendidikan yang mempunyai  peran penting dalam membangun masyarakat berkualitas terutama di Indonesia adalah Pesantren. dari kawah pesantren, sebagai obyek studi, telah lahir doctor-doktor dari berbagai disiplin ilmu, mulai antropologi , sosiologi, pendidikan, politik, agama dan lain sebagainya. Dari pesanteren pula telah lahir institusi penting di Indonesia yang bernama madrasah. Pesantren dan madrasah adalah dua system pendidikan Islam di negeri ini yang kontribusinya tidak kecil bagi pembangunan manusia seutuhnya”. Dari proses inilah akan terbangun suatu tatanan masyarakat yang idial sebagai cita-cita bersama yaitu suatu masyarakat yang religius, demokratis, egaliter  dan mandiri atau dapat disebut sebagai masyarakat madani.
          Lebih jauh makalah ini akan menguraikan peranan pondok pesantren dalam membangun masyarakat madani.
Pola Pendidikan Pesantren
Pondok Pesantren  merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup sehari-hari. Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut serta mencerdaskan anak bangsa, terutama di zaman colonial, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat berjasa bagi umat Islam. Para pemimpin bangsa terutama angkatan 1945 adalah para alumni atau pernah belajar di Pesantren. Para peneliti terdahulu sepakat, bahwa pesantren adalah hasil rekayasa umat Islam Indonesia yang mengembangkan system pendidikan agama jawa di abad 8-9 M, di bawah pengaruh Islam, system pendidikan agama Jawa diambil alih dengan mengganti nilai ajaran agama Jawa menjadi nilai ajaran Islam.[2]
          Sesuai dengan arus dinamika zaman, definisi serta persepsi terhadap pesantren menjadi berubah pula. Kalau pada tahap awalnya pesantren diberi makna dan pengertian sebagai lembaga pendidikan tradisional, tetapi saat sekarang pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional tidak lagi selamanya benar. Dan pola pesantren yang dikemukakan dalam uraian ini akan terlihat bahwa tidak selamanya pendidikan pesantren saat sekarang digolongkan kepada pendidikan tradisional. Namun secara umum perlu diberikan suatu keseragaman pengertian tentang pesantren. Untuk itu tentu tidak mudah oleh karena banyaknya pesantren, maka yang dapat disebutkan hanyalah elemen pokoknya saja sebagaimana pendapat Zamakhsyari Dofier bahwa elemen pesantren tersebut adalah  pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik, dan kiai.[3]
          Adapun pola-pola pesantren dapat dikemukakan sebagai berikut :
Pola I
          Dalam pola ini pesantren masih terikat dengan system pendidikan Islam sebelum zaman pembaruan pendidian Islam di Indonesia. Cirri-ciri pesantren pola I ini pertama, pengkajian kitab-kitab klasik semata-mata. Kedua, memaki metode sorogan, wetonan, dan hafalan di dalam berlangsungnya proses belajar mengajar. Ketiga, tidak memakai system klasikal. Pengetahuan seorang diukur dari sejumlah kitab-kitab yang telah pernah dipelajarinya dan kepada ulama mana ia berguru. Keempat, tujuan pendidikan adalah untuk meninggikan moral, melatih, da mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual, dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, serta menyiapkan para santri untuk hidup dan bersih hati.
          Sebagian dari pesantren pola ini ada yang lebih mengkhususkan diri kepada satu bidang trtentu, misalnya keahlian fiqih, hadits, bahasa arab, tasawuf, ataupun lainnya. Oleh karena itulah sering seorang santri pindah dari suatu pesantren ke pesantren lainnya yang menjadi pola spesifik pesantren yang dituju.

Pola II
          Pesantren Pola II merupakan pengembangan dari pesantren Pola I. kalau pada Pola I inti pelajaran adalah pengkajian kitab-kitab klasik dengan menggunakan metode sorogan, wetonan, dan hafalan sedangkan pada pola II inti pelajaran tetap menggunakan kitab-kitab klasik yang diajarkan dalam bentuk klasikal dan non klasikal. Disamping itu, diajarkan ekstra kurikuler seperti ketrampilan dan praktik ke oraganisasian.
          Pada bentuk system klasikal, tingkat pendidikan dibagi kepada jenjang penddikan dasar (ibtidaiyah) 6 tahun, jenjang pendidikan menengah pertema (tsanawiyah), dan jenjang pendidikan atas (Aliyah) 3 tahun. Diluar waktu pengajaran klasikal di pesantren Pola II ini diprogramkan pula system non kalsikal, yakni membaca kitab-kiab klasik dengan metode sorogan dan wetonan. Pimpinan pesantren telah mengatur jadwal pengkajian tersebut lengkap dengan waktu, kitab yang akan dibaca dan ustadz yang akan mengajarkannya. Para santri bebas memilih kitab apa yang diikutinya untuk dibaca.
          Selain materi pelajaran ilmu agama lewat kitab-kitab klasik, di pesantren ini juga diajarkan sedikit pengetahuan umum, ketrampilan, latihan berorganisasi, olahraga, dan lain-lain.

Pola III
          Pesantren pada pola III adalah pesantren yang di dalamnya program keilmuan telah diupayakan menyeimbangkan antara ilmu agama dan umum. Ditanamkan sikap positif terhadap kedua jenis ilmu itu kepada santri. Selain dari itu dapat digolongkan kepada ciri pesantren poloa III ini adalah penanaman berbagai aspek pendidikan, seperti kemasyarakatan, ketrampilan, kesenian, kejasmanian, kepramukaan, dan sebagian dari pesantren pola III telah melaksanakan program pengembangan masyarakat.
          Struktur kurikulum yang dipakai pada pesantren pola III ini ada yang mendasarkannya kepada struktur madrasah negeri dengan memodifikasi mata pelajaran agama, dan ada pula yang memakai kurikulum yang dibuat oleh pondok sendiri. Pengajaran ilmu-ilmu agama pada pesantren pola ini tidak selalu bersumber dari kitab-kitab klasik.

Pola IV
          Pesantren pola IV, adalah pesantren yang mengutamakan pengajaran ilmu-ilmu ketrampilan disamping ilmu-ilmu agama sebagai mata pelajaran pokok. Pesantren ini mendidik para santrinya untuk memahami dan dapat melaksanakan berbagai ketrampilan guna dijadikan bekal hidupnya. Dengan demikian kegiatan pendidikannya meliputi kegiatan klas, praktek di laboratorium, bengkel, kebun/lapangan.

Pola V
          Pada pola ini pesantren mengasuh beraneka ragam lembaga pendidikan yang tergolong formal dan non formal. Pesantren ini juga dapat dikatakan sebagai pesantren yang lebih lengkap dari pesantren yang telah disebutkan di atas. Kelengkapannya itu ditinjau dari segi keanekaragaman bentuk pendidikan yang dikelolannya.
          Di pesantren ini ditemukan pendidikan madrasah, sekolah, perguruan tinggi, pengkajiankitab-kitab klasik, majlis taklim, dan pendidikan ketrampilan. Pengajian kitab-kitab klasik di pesantren ini dijadikan sebagai materi yang wajib diikuti oleh seluruh santri yang mengikuti pelajaran di madrasah, sekolah, dan perguruan tinggi. Sementara itu ada santri yang secara khusus mengaikutipengajian kitab-kitab  klasik saja.[4]



Wacana dan Karakteristik  Masyarakat Madani
Gagasan masyarakat madani sesungguhnya baru belakangan populer sekitar awal tahun 90-an di Indonesia, dan kerena itu barangkali juga masih berbau “asing” bagi sebagian orang. Konsep ini pada awalnya,sebenarnya berkembang di Barat, memiliki akar sejarah awal dalam peradaban masyarakat Barat, dan terakhir setelah sekian lama seolah-olah terlupakan dalam perdebatan wacana ilmu social modern, kemudian mengalami revialisasi terutama ketika Eropa Timur dilanda gelombang reformasi di tahun-tahun pertengahan 80-an hingga awal 90-an. Selanjutya wacana ini oleh banyak bangsa dan masyarakat dinegara berkembang, termasuk Indonesia, secara antuasias ikut dikaji, dikembangkan, dan dieliminasi, sebgaimana realitas empiris yang dihadapi.[5]
Istilah masyarakat madani sebenarnya hanya salah satu di antara beberapa istilah yang seringkali digunakan oleh para cendekiawan Indonesia dalam penerjemahan padanan kata civil society. Disamping masyarakat madani, padanan kata lainnya yang sering digunakan adalah masyarakat warga atau masyarakat kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat beradab atau masyarakat berbudaya.[6]
Ada berbagai persfektif pemikiran  terhadap istilah civil society bagi cendekiawan muslim Indonesia. Menurut Nurkholis Majid, masyarakat madani adalah masyarakat yang mengacu kepada masyarakat Madinah yang berada di bawah pimpinan Rasulullah ketika Rasulullah hijrah ke Madinah. Beliau membangun tatanan kehidupan masyarakat  yang berperadaban. Jika masyaraka Madinah di bawah pimpinan Rasululah yang menjadi acuan bagi masyarakat madani itu, maka perlulah diketahui cirri-ciri dari masyarakat Madinah itu. Pertama, masyarrakat Rabbaniyah, semangat berketuhanan yang dilandasi tiga pilar, yaitu aqidah, syari’ah dan akhlak. Ketiga pilar menyatu menjadi satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya pula. Di Zaman Rasulullah setiap pribadi muslim memanifestasikannya dalam pribadi masing-masing.
          Kedua, Masyarakat yang demokratis, dimana Rasul dan para sahabatnya mentradisikan musyawarah dalam segala persoalan dan Rasulullah tidak bekeberatan menarik pendapatnya apabila ada pendapat yang lebih baik. Masyarakat egalitarian, memandang sama manusia de depan hokum, bahkan beliau pernah bersabda “seandainya Fatimah mencuri niscaya akan kpotong tangannya”, masyarakat demokrasi dan egalitarian itu juga tercermin dalam sikap kaum muslimin, dicerminkan dengan pemilihan kholifah yang tidak berdasarkan kepada system demokrasi yang dilakukan oleh Negara-negara modern sekarang. Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali terpilih menjadi kepala Negara dan pemerintahan berdasarkan asa demokrasi.
          Ketiga. Masyarakat yang toleran, masyarakat Madinah adalah masyarakat yang plural, dari segi suku mereka terdiri dari berbagai etnik. Qobilah Auz dan Khazraj adalah soko guru dari kelompok Ansor, sedangkan Suku Qurish yang berasal dari Makkah adalah orang-orang Muhajirin. Dari sisi agama selain dari Islam ada Yahudi dan lain sebaginya. Kehidupan toleran itu diikat oleh Rosulullah dalam satu ikatan yang disebut dengan MItsaqul Madinah atau Piagam Madinah. Piagam ini mengatur tentang tanggungjawab seluruh warga Madinah untuk terciptanya persatuan dan kesatuan di kalangan mereka.
          Keempat, Berkeadilan, Al-Qur’an dalam banyak tempat menjelaskan tentang keadilan. Karena begitu pentingnya keadilan. Karena begitu pentingnya keadilan sampai-sampai Al-Qur’an menjelaskan bahwa keadilan itu mendekati takwa (QS. Al-Maidah:8).
          Kelima. Masyarakat berilmu, ilmu merupakan salah satu pilar yang ditegakkan Rasul dalam membangun masyarakat Madinah. Penerapan masyarakat berilmu ini telah dimulai oleh Rasulullah dengan memberantas buta aksara di kalangan kaum muslimin dengan cara membebaskan tawanan perang yang mampu mengajari kaum muslimin menulis dan membaca sebagai tebusannya.[7]

Pesantren dan Pembentukan Masyarakat Madani
          Berdasarkan indikasi masyarakat madani yang telah diutarakan terdahulu dapat dijadikan acuan guna untuk melihat sejauh mana pondok pesantren membentuk masyarakat yang diutarakan cirri-ciri tersebut :
  1. Masyarakat Robbaniyah, adalah masyarakat yang didasarkan atas dasar ketuhanan yang dilandasi atas tiga pilar akidah, syariah dan akhlak. Berkenaan dengan ini pesantren titik tumpu utamanya adalah lembaga pendidikan keagaamaan baik secara teori maupun praktik. Secara teori para santri diajarkan ilmu-ilmu agama baik yang bersumber dari kitab klasik atau bukan. Secara praktik mereka diwajibkan untuk mempraktikkan kehidupan beragama baik menyangkut akidah, syariah, dan akhlak.
  2. Masyarakat demokratis dan egalitarian, kehidupan santri sangat demokratis dan egalitarian. Mereka hidup tanpa disekat oleh status social dan ekonomi. Muzakarah dan musyawarah ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Pesantren adalah merupakan perwujudan dari kehidupan demokratis dan egalitarian tersebut.
  3. Hidup toleran, salah satu di antara kehidupan yang dikembangkan adalah hidup bertoleransi sasama mereka, mengahargai orang lain, mengembangkan hidup tenggang rasa, mengikis sikap-sikap egois, ditumbuhkan semangat persaudaraan. Sulit dibayangkan santri yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan di suatu pesantren apabila tidak memiliki sikap hidup tenggang rasa.
  4. Berkeadilan, sikap berkeadilan ini timbul dari sikap kiai yang memberikan pendidikan, perhatian, serta kasih sayang yang sama kepada santri. Santri diberlakukan secara sama, tidak dibedakan dalam pendidikan, pengajaran, dan fasilitas, bahkan juga dari segi hukuman yang diberikan tidak membedakan seorang atas dasar status social dan ekonomi orang tuannya. Pendidikan seperti ini memiliki pengaruh yang besar kepada santri dalam menumbuhkan toleran dan adil.
  5. Masyarakat berilmu. Pesantren adalah lembaga untuk menimba ilmu. Tentu saja dapat dipastikan bahwa pesantren tidak dapat dipisahkan dengan ilmu. Pada tahab awal (pesantren salafi) mengembangkan ilmu ilmu naqliah. Tetapi dinamika berikutnya ilmu-ilmu yang diajarkan lebih bervariasi yaitu dengan menambah ilmu-ilmu aqliyah.[8]


Kesimpulan
     Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam awal di Indonesia yang pada tahap awal sebelum masuknya ide-ide pembaruan pemikiran Islam ke Indonesia semata-mata mengajarkan kitab-kitab klasik yang bertujuan untuk membentuk ulama, kia yang kompeten dalam bidang ilm-ilmu diniyah.
     Sesuai dengan arus kemajuan zaman dibarengi pula masuknya ide-ide pembaruan pemikir Islam ke Indonesia maka pesantren telah mengalami dinamika. Dinamika itu dapat dilihat dari tiga segi, dinamika materi (bahan yang diajarkan), dinamika administrasi dan management, serta dinamika system dan nonklasikal menjadi klasikal.
     Dengan demikian dapat dipahami bahwa pesantren semakin adaftif terhadap kemajuan zaman. Atas dasar itu peluang pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang akan menciptakan manusia seutuhnya akan semakin terbuka. Selain dari itu pesantren juga berperan untuk membentuk masyarakat madani yang bercirikan, masyarakat religius, demokratis, egalitarian, toleran, berkeadilan serta berilmu.
     Kesemua cirri-ciri masyarakat madani ini yang ditransformasikan dari sikap hidup masyarakat madinah yang dipimpin Rasul sangat erat kaitannya dengan output pesantren.

DAFTAR PUSTAKA

Adi Surya Culla, Masyarakat Madani: pemikiran, teori dan relevansinya dengan cita-cita
 reformasi (Jakarta : PT Raja Grafindo )

Ed. Ismail SM Dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar , 2002 )

Haidar Putra Daulay, PENDIDIKAN ISLAM Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia,
             (Jakarta, Fajar Interpratama Ofset : 2004)

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren ( Jakarta : INIS ,1990 )

Nurcholis Madjid, Menuju Masyarakat Madani dalam Jurnal Kebudayaan dan Peradaban     
 UlumulQur,an No. 2/VII/96 (Jakarta: LSAF-PPM, 1996)

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta, LP3ES, 1982)



     [1] Ed. Ismail SM Dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar , 2002 ) hal. Vii
            [2] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren ( Jakarta : INIS ,1990 ) hal. 3
            [3] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta, LP3ES, 1982) hal. 44
            [4] Haidar Putra Daulay, PENDIDIKAN ISLAM Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta, Fajar Interpratama Ofset : 2004) hal 31

            [5] Adi Surya Culla, Masyarakat Madani: pemikiran, teori dan relevansinya dengan cita-cita  reformasi (Jakarta : PT Raja Grafindo ) hal 3
            [6] Ibid, hal 7
            [7] Nurcholis Madjid, Menuju Masyarakat Madani dalam Jurnal Kebudayaan dan Peradaban UlumulQur,an No. 2/VII/96 (Jakarta: LSAF-PPM, 1996) hlm. 51-55
                [8] Haidar Putra Daulay, PENDIDIKAN………. Hal. 35

0 comments:

Posting Komentar