PENDEWASAAN UISA NIKAH SEBAGAI UPAYA
MEWUJUDKAN KELUARGA YANG BERKUALITAS
Oleh : Rohwan, S.Ag. MSI.
Sudah menjadi harapan bagi setiap orang yang melaksanakan pernikahan pasti mendambakan agar menjadi keluarga yang bahagia, sejahera, damai dan kekal, dimana sejak awal tidak selalu mengalami permasalahan/problematic yang menggoncangkan sendi-sendi keluarga. rumah tangganya terpenuhi kebutuhan hidupnya, baik lahir maupun batin. Dalam keseharian senantiasa aman tentram dalam suasana kedamaian dan bebas dari percekcokan dan pertengkaran. Dan dalam seisi rumah terjalin utuh dan tidak terjadi perceraian seumur hidup.[1]
Gambaran kehidupan tersebut dapat dicapai apabila sebuah pernikahan dilaksanakan dengan perencanaan yang matang, termasuk adanya pertimbangan usia nikah. Pada dasarnya dalam agama Islam tidak ada batasan yang pasti tentang berapa usia idial untuk menikah, tetapi kalau ditinjau dari tujuan, fungsi perkawinan dan peran yang harus dilakukan oleh orang yang telah menikah sebenarnya orang yang dianjurkan menikah adalah orang yang telah mampu.
Terkait dengan batasan umur pernikahan, Bimo Walgito, 1984, berpendapat bahwa umur seseorang mempunyai peranan dalam perkawinan. Umur seseorang berhubungan dengan aspek fisiologis, psikologis dan sosial ekonomi. Dari aspek fisiologis batasan perkawinan pada umur 16 dan 19 tahun sebagaimana dalam undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 dianggap sudah cukup masak, karena pada usia tersebut pasangan nikah sudah dapat mebuahkan keturunan, karena dari segi biologis alat-alat reproduksi telah berfungsi. tetapi dari aspek psikologis pada umur 16 tahun maupun 19 tahun pada umumnya masih digolongkan pada umur remaja atau adolensi belum termasuk kategori dewasa (Hurlock, 1959 dalam Bimo Walgito, 1984), dan jika dikaitkan dengan kematangan sosial ekonomi biasanya anak pada usia 19 tahun belum mempunyai sumber penghasilan atau penghidupan sendiri.[2]
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dan mengingat akan peranan suami istri, Bimo Walgito berpendapat bahwa umur yang sebaiknya untuk menikah adalah pada umur 23-24 tahun untuk wanita dan umur 26-27 untuk pria dengan tetap menekankan bahwa batasan tersebut tidak bersifat mutlak.[3]
Senada dengan Bimo Walgito, Hasan Basri juga berpendapat factor kedewasaan merupakan factor penting dalam perencanaan pernikahan. Basri berkeyakinan bahwa suami istri yang dewasa akan lebih bertanggungjawab, akan mampu memahami perasaan, menenggang perasaan dan memikirkan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi keluarganya. Meraka akan tegar mengahadapi cobaan dalam kehiduupan, baik dalam bidang sosial ekonomi, kesususilaan dan kehormatan keluarga. Dari sini Basri menyimpulkan bahwa perkawinan yang baik dan penuh tanggungjawab biasanya berkembang bila uisia pria diatas 25 tahun dan kaum wanita pada usia diatas 22 tahun.[4].
Masih banyaknya pernikahan usia muda di masyarakat diduga disebabkan oleh berapa faktor:
1. adanya ketentuan hukum atau undang-undang yang membolehkan kawin usia muda sebagaimana pada UUP No. 1 tahun 1974;
2. masih adanya salah pandang terhadap masalah kedewasaan dimana anak yang sudah menikah berapun umurnya dianggap sudah dewasa;
3. factor social ekonomi yang cendurung mendorong orang tua untuk cepat-cepat menikahkan anaknya terutama anak perempuan dengan maksud agar beban ekonomi keluarga berkurang;
4. rendahnya kesadaran dan tingkat pendidikan orang tua dan anak yang memandang pendidikan formal tidak penting sehingga lebih baik kalau segera dinikahkan;
5. factor budaya yang sudah melekat di masyarakat bahwa jika punya anak perempuan harus segera dinikahkan agar tidak menjadi perawan tua;
6. pergaulan bebas para remaja yang mengakibatkan kehamilan sehingga memaksa orangtua untuk menikahkan berapapun umurnya
Adapun dampak negative dari pernikahan usia muda adalah :
1. Tingginya ketergantungan kepada orang tua untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga karena belum mapan secara ekonomi;
2. Kurang matangnya kepribadian akibat terhambatnya masa remaja;
3. Tidak stabilnya pertumbuhan kejiwaan istri karena harus hamil dan mengasuh anak dalam kondisi yang belum siap;
4. Terhambatnya keharmonisan dalam rumah tangga;
5. dari aspek kesehatan, pernikahan usia muda dapat berpotensi terhadap gangguan kehamilan dan kualitas bayi[5]
Oleh karena itu agar dapat tercapai keluarga yang berkualitas maka seseorang yang akan menikah dipersyaratkan telah baligh dan mempunyai kecakapan yang sempurna artinya telah cukup umur dan telah matang jiwa raganya.[6]
Termasuk dalam upaya membina keluarga yang berkualitas hendaknya suami istri harus didukung oleh beberapa kesanggupan :
1. Kesanggupan jasmani dan rohani
Hal ini diterjemahkan dengan istilah baligh dan mukalaf, hal ini sejalan dengan tugas dan kewajiban suami istri dalam perkawinan;
2. Kesanggupan memberi nafkah bagi suami
Seorang suami wajib memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya secara baik sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 233 :
233. Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Dan Allah melarang orang yang tidak sanggup memberi nafkah untuk melaksanakan perkawinan. Terhadap dirinya wajib memelihara dari larangan agama. Firman Allah dalam Surat An Nur ayat 33 :
033. Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).
3. Kesanggupan bergaul dan mengurus rumah tangga
Adanya kesanggupan bergaul dan kemampuan mengurus rumah tangga dengan baik merupakan syarat dari suatu perkawinan yang akan mencapai tujuannya.[7]
BAHAN BACAAN
Basri, Hasan.2004 , Keluarga Sakinah Tinjauan Psikologi dan Agama Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
Dedi Junaedi,2002, Membina Keluarga Sakinah Menurut Al Qur’an dan As-Sunah
Jakarta, Akademika Pressindo. ,
Soemiyati, 1986. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan,
Yogyakarta : Liberty,
Nafisah Siti. 2008, Kesejahteraan Rumah Tangga Dalam Pernikahan Dini,
(Skripsi pada Fak. Dakwah UIN Suka Yogyakarta,
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan penjelasannya.
Walgito, Bimo ,1984. Bimbingan dan Konseling Perkawinan, Yogyakarta :
Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM.
[1] Dedi Junaedi, Membina Keluarga Sakinah Menurut Al Qur’an dan As-Sunah ( Jakarta, Akademika Pressindo : 2002 ) , hlm 155
[2] Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Perkawinan (Yogyakarta : Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 1984), hlm 29
[3] Ibid, hlm 31
[4] Hasan Basri, Keluarga Sakinah Tinjauan Psiologi dan Agama, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004) hlm. 10
[5] Siti Nafisah, Kesejahteraan Rumah Tangga Dalam Pernikahan Dini, (Skripsi pada Fak. Dakwah UIN Suka Yogyakarta, 2008), hlm 54
[6] Ny. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta : Liberty, 1986), hlm. 30
[7] Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974 hal 47
1 comments:
Semoga lebih banyak manfaat bagi yang lain, terima kasih akhiy..
Posting Komentar