Jumat, 05 Agustus 2011

Mensyukuri Anugrah Akal


MENSYUKURI ANUGRAH AKAL
 DENGAN BERFIKIR ILMIAH

Oleh : Rohwan, MSI.

Pendahuluan

Salah satu anugrah Allah SWT kepada manusia adalah diberikannya kemampuan untuk berpikir. Setiap saat dari hidup manusia hampir tidak pernah berhenti berpikir. Hampir tak ada masalah yang menyangkut peri kehidupan manusia yang terlepas dari jangkauan pikirannya, dari soal paling ringan sampai soal yang paling asasi, dari pertanyaan yang menyangkut sarapan pagi sampai persoalan surga dan neraka di akhir nanti. Singkatnya dengan berpikir inilah yang mencirikan hakikat manusia dan karena berpikir lah dia menjadi manusia.[1]
Dalam Al-Qur’an tidak sedikit ayat-ayat yang menganjurkan dan mendorong manusia supaya banyak berpikir dan mempergunakan akalnya. Anjuran tersebut tersebar diberbagai ayat Al-Qur’an yang bermuara pada kata  “aqala”, nazara (melihat secara abstrak), tadabbara (merenungkan) , tafakkara (berpikir), faqiha (mengerti, faham), fahima (memahami), Tazakkara (mengingat)termasuk juga penyebutan istilah ulu al-albab, ulu al-‘ilm, ulu al-absar dan ulu al-nuha.[2]
Berpikir dan mempergunakan akal adalah ajaran yang jelas dan tegas dalam Al-Qur;an, sebagai sumber utama dari ajaran Islam. Motivasi berpikir juga tercermin dalam Hadits Nabi yang memberikan  kedudukan tinggi pada akal (Al-diinu aqlun laa diina liman laa ‘aqla lahu), agama adalah penggunakan akal, tiada agama bagi orang yang tak berakal. Dengan kata lain akallah makhluk Tuhan yang tertinggi dan akallah yang membedakan manusia dari binatang dan mahkluk Tuhan lainnya. Dengan akal, manusia bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatannya dan dengan dasar akal yang ada pada manusia itulah Tuhan memberikan pahala dan hukuman kepada manusia.[3]
Penghargaan yang tinggi terhadap akal ini juga sejalan pula dengan ajaran Islam yang lain tentang anjuran untuk membaca ayat-ayat Allah sebagai sarana memperoleh ilmu pengetahuan (QS. Al-‘Alaq, 1-5).[4]
Pertanyaannya, apakah sebenarnya berpikir itu ?. Secara umum tiap perkembangan dalam idea, konsep dan sebagainya dapat disebut berpikir. Ketika seseorang ditannya “apa yang sedang anda pikirkan ?” mungkin akan dijawab “saya memikirkan keluarga saya”. Hal ini berarti bahwa bayangan, kenangan dan sebagainya hadir dan mengikuti dalam kesadaran orang tersebut. Karena itu maka definisi yang paling umum dari berpikir adalah perkembangan idea dan konsep.
Dalam perspektif keilmuan, berpikir ilmiah bukanlah berpikir biasa. Pemikiran keilmuan adalah pemikiran yang sungguh-sungguh. Dalam hal ini berpikir  merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan.[5]
Untuk melakukan kegiatan pemikiran  secara baik deperlukan sarana untuk berpikir. Tersediaanya sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan sarana berpikir ilmiah ini merupakan suatu hal yang bersifat imperative bagi seorang ilmuwan. Tanpa menguasai hal ini maka kegiatan ilmiah yang baik tak dapat dilakukan.[6]
Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya diperlukan sarana yang tertentu pula. Oleh sebab itu maka sebelum mempelajari sarana-sarana berpikir ilmiah kita telah menguasai langkah langkah dalam kegiatan ilmiah tersebut. Dengan jalan ini maka kita akan sampai pada hakikat sarana yang sebenarnya, sebab sarana merupakan alat yang membantu kita dalam mencapai suatu tujuan tertentu, atau dengan perkataan lain, sarana ilmiah mempunyai fungsi-fungsi yang khas dalam kaitan kegiatan ilmiah secara menyeluruh.
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana berupa bahasa, logika, matematika dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dimana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Ditinjau dari pola berpikirnya maka ilmu itu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu maka pelaranan ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif. Proses pengujian dalam kegiatan ilmiah mengharuskan kita menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakikatnya merupakan pengumpulan fakta untuk mendukung atau menolak hipotesis yang diajuan. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan berpikir dengan baik pula. Salah satu langkah kearah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah tersebut.[7]

Peranan Bahasa
Bahasa memegang peranan penting dan suatu hal yang lazim dalam hidup dan kehidupan manusia. Kelaziman tersebut membuat manusia jarang memperhatikan bahasa dan menanggapinya sebagai suatu hal yang biasa, seperti bernafas dan berjalan. Padahal bahasa mempunyai pengaruh-pengaruh yang luar biasa dan termasuk yang membedakan manusia dari ciptaan lainnya. Hal ini senada dengan apa yang diutarakan oleh Ernest Cassirer, sebagaimana yang dikutip oleh Jujun dan Amsal Bachtiar, bahwa keunikan manusia bukanlah terletak pada kemampuannya berpikir melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Oleh karena itu, Ernest menyebut manusia sebagai Animal Symbolycum, yaitu makhluk yang mempergunakan simbol. Secara generik istilah ini mempunyai cakupan yang lebih luas dari istilah homo sapiens, sebab dalam kegiatan berpikir manusia mempergunakan simbol.[8]
Bahasa mempunyai peranan penting dalam  komunikasi antar manusia termasuk sebagai sarana berpikir. Dengan kata lain, tanpa mempunyai kemampuan berbahasa, seseorang tidak dapat melakukan kegiatan berpikir sebagai secara sistematis dan teratur untuk menggapai pengetahuan. Dengan kemampuan kebahasaan akan terbentang luas cakrawala berpikir seseorang dan tiada batas dunia baginya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wittgenstein yang menyatakan: “batas bahasaku adalah batas duniaku”.[9]
Banyak ahli bahasa telah memberikan uraiannya tentang pengertian bahasa. Sudah barang tentu setiap ahli berbeda-beda cara menyampaikannya. Bloch and Trager, sebagaimana yang dikutip oleh Amsal Bachtiar, menyatakan bahwa “a language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which a social group cooperates” (bahasa adalah suatu system simbol-simbol bunyi yang arbiter yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk berkomunikasi). Senada dengan definisi diatas, Joseph Broam mengatakan, “a language is a structured system of arbitrary vocal symbols by means of which members of social group interact (Bahasa adalah suatu system yang berstruktur dari simbol-simbol bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota sesuatu kelompok social sebagai alat bergaul satu sama lain.[10]
Adanya symbol bahasa yang bersifat abstrak ini memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu secara berlanjut. Demikian juga bahasa memberikan kemampuan untuk berfikir secara teratur dan sistematis. Transformasi obyek factual menjadi symbol abstrak yang diwujudkan lewat perbendaraan kata-kata ini dirangkaikan oleh tata bahasa untuk mengemukakan suatu jalan pemikiran atau ekspresi perasaan. Kedua aspek bahasa ini yakni aspek informative dan emotif keduanya tercermin dalam bahasa yang kita pergunakan. Artinya kalau kita berbicara maka pada hakikatnya informasi yang kita sampaikan mengandung unsur-unsur emotif, demikian juga kalau kita menyampaikan perasaan maka ekpresi itu mengandung unsur-unsur informatif. [11]
Bila ditelaah lebih lanjut bahasa mengkomunikasikan tiga hal yakni buah pikiran, perasaan dan sikap. Atau seperti dinyatakan oleh Kneller bahasa dalam kehidupan manusia mempunyai fungsi simbolik, emotif, dan afektif. Fungsi simbolik dari bahasa menonjol dalam komunikasu estetik. Komunikasi dengan mempergunakan bahasa akan mengandung unsure simbolik dan emotif ini. Dalam komunikasi ilmiah sebenarnya proses komunikasi itu harus terbebas dari unsur emotif ini, agar pesan yang disampaikan bisa diterima secara reproduktif, artinya identik dengan pesan yang dikirimkan.[12]
Hal ini dimaksudkan untuk mencegah apa yang dinamakan sebagai suatu salah informasi, yakni suatu proses komunikasi yang mengakibatkan penyampaian informasi yang tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan, dimana suatu informasi yang berbeda akan menghasilkan proses berfikir yang berbeda pula. Oleh sebab itu maka proses komunikasi ilmiah harus bersifat jelas dan obyektif.[13]
            Berbahasa dengan jelas artinya, makna yang terkandung dalam kata-kata yang dipergunakan diungkapkan secara tersurat (eksplisit) untuk mencegah pemberian makna yang lain. Oleh sebab itu dalam berkomunikasi ilmiah kita sering mendapatkan definisi dari kata-kata yang dipergunakan. Misalnya penggunaan kata “epistemologi’, kata “optimal” maka kita harus menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksudkan dengan kata itu. Hal ini dilakuan untuk mencegah se penerima komunikasi memberi makna lain dari makna yang kita maksudkan.
            Berbahasa dengan jelas juga diartikan dengan mengemukakan pendapat atau jalan pemikiran secara jelas. Kalau diteliti lebih lanjut dalam sebuah karya ilmiah pada dasarnya merupakan suatu pernyataan. Pernyataan itu melambangkan suatu pengetahuan yang ingin dikomunikasikan kepada orang lain. Kalimat seperti “logam kalau dipanaskan akan memanjang” pada hakikatnya merupakan suatu pernyataan yang mengandung pengetahuan tentang hubungan sebab akibat antara panjang logam dan kenaikan suhu.           
Karya ilmiah pada dasarnya merupakan kumpulan pernyataan yang mengemukakan informasi tentang pengetahuan maupun jalan pemikiran dalam mendapatkan pengetahuan tersebut. Untuk mampu mengkomunikasikan suatu pernyataan dengan jelas maka seorang harus menguasai tata bahasa dengan baik. Penguasaaan tata bahasa merupakan syarat mutlak bagi suatu komunikasi ilmiah yang benar.
            Karya ilmiah juga mempunyai gaya penulisan yang pada hakikatnya merupakan usaha mencoba menghindari kecenderungan yang bersifat emosional bagi kegiatan seni namun merupakan kerugian bagi kegiatan ilmiah. Oleh sebab itu gaya penulisan ilmiah harus diusahkan untuk menekan unsur-unsur emotif ini.[14]
           
Logika dan Matematika
            Bahasa verbal seperti diuraiakan diatas dalam penggunaannya ternyata mempunyai beberapa kelemahan yang sangat mengganggu. Untuk mengatasinya digunakanlah bahasa matematika. Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin disampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat artificial yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya yang hanya berlaku khusus untuk masalah yang sedang dikaji. Sebuah obyek kajian bisa dilambangkan dengan apa saja sesuai dengan perjanjian.  Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kabur, majmuk dan emosional dari bahasa verbal. [15]
            Dalam perspektif sejarah matematika merupakan salah satu pucak kegemilangan intelektual. Di samping pengethuan mengenai matematika itu sendiri, matematika juga memberikan bahasa, proses dan teori yang memberikan ilmu suatu bentuk dan kekuasaan. Fungsi matematika menjadi sangat penting dalam perkembann berbagai ilmu pengetahuan. Penghitungan matematis misalnya menjadi dasar desain ilmu teknik, metode matematis memberikan inspirasi kepada pemikiran di bidang social dan ekonomi bahkan pemikiran matematis dapat memberikan warna kepada kegiatan arsitektur dan seni lukis.[16]
Dibandingkan dengan bahasa verbal matematika mempunyai  beberapa kelebihan. Matematika mengembangkan bahasa numeric yang memungkinkan seseorang melakukan pengukuran secara kuantitatif. Dengan bahasa verbal kita hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Demikian juga maka penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh ilmu dalam bahasa verbal semuannya bersifat kualitatif.[17]
            Sifat kuantifatif dari matematika ini meningkatkan daya prediktif dan control dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara lebih tepat dan cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahab kualitatif ke kuantitatif. Perkembangan ini merupakan suatu hal yang imperative bila kita menghendaki daya prediksi dan control yng lebih tepat dan cermat Pada dasarnya matematika diperlukan oleh semua disiplin keilmuan.[18]
            Disamping  sebagai bahasa, matematika juga berfungsi sebagai alat berfikir. Ilmu merupakan pengetahuan yang mendasarkan kepada analisis dalam menarik kesimpulan menurut suatu pola berfikir terterntu. Matematika menurut Wittgenstein, tak lain adalah metode berfikir logis. Berdasarkan perkembangnya maka masalah yang dihadapi logika makin lama makin rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Dalam perspektif inilah maka logika berkembang menjadi matematika, seperti disimpulkan oleh Bertnand Russell, “matematika adalah masa kedeawasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil matematika”.
            Matematika pada garis besarnya merupakan pengetahuan yang disusun secara konsisten berdasarkan logika deduktif. Walaupun tidak semua ahli filsafat setuju dengan pernyataan ini. Immanuel Kant misalnya berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan sintetik a priori  dimana eksistensi matematika tergantung kepada dunia pengalaman. Namun dewasa ini kebanyakan orang berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan yang bersifat rasional yang kebenarannya tidak bergantung kepada pembuktian secara empiris. Perhitungan matematika bukanlah suatu eksperimen, menurut Wittgentein, sebuah pernyataan matematika tidaklah mengekspresikan produk pikiran (tentang obyek factual)[19]
            Bagi dunia keilmuan  matematika berperan sebagai bahasa simbolik yang memungkinkan terwujudnya komunikasi yang cermat dan tepat. Matematika dalam hubungannya dengan komunikasi ilmiah mempunyai peranan ganda, kata Fehr, matematika  sebagai ratu dan sekaligus pelayanan ilmu. Sebagai ratu matematika merupakan bentuk tertinggi dari logika, sebagai pelayan matematika memberikan bukan saja system pengorganisasian ilmu yang bersifat logis namun juga pernyataan-pernyataan dalam bentuk model matematik. Matematika bukan saja menyampaikan informasi secara jelas dan tepat namun juga singkat. Suatu rumus yang jika ditulis dengan bahasa verbal memerlukan kalimat yang panjang  sekali, maka dengan bahasa matematika cukup detulis dengan model yang sangat sederhana sekali. [20]

Logika dan  Statistika
Suatu ilmu secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Semua pernyataan ilmiah bersifat factual, dimana konsekwensinya dapat diuji baik dengan pancaindera maupun dengan alat-alat bantu. Pengujian secara empiris merupakan salah satu mata rantai dalam metode ilmiah yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya. Kalau ditelaah lebih dalam maka pengujian merupakan suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan. Sekirannya hipotesis itu didukung oleh fakta-fakta empirisnya maka pernyataan hipotesis tersebut diterima atau disyahkan kebenarannya. Sebaliknya jika hipotesis tersebut bertentangan dengan kenyataan maka hipotesis tersebut ditolak.
            Pengujian mengharuskan untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Misalnya jika ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di suatu tempat maka nilai tinggi rata-rata yang dimaksudkan itu merupakan sebuah kesimpulan umum yang ditarik dalam kasus-kasus anak umur 10 tahun di tempat itu. Penarikan kesimpulan ini berdasarkan logika induktif dengan menggunakan sarana statistika. Jadi statistika merupakan pengetahuan untuk melakukan penarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama.[21]
            Secara etimologi statistic berasal dari kata status (bahasa latin) yang mempunyai persamaan arti dengan kata state (bahasa Inggris) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan Negara. Pada mulanya, kata statistic diartikan kumpulan bahan keterangan (data), baik yang berwujud angka (data kuantitatif) maupun yang tidak berwujud angka (data kualitatif) yang mempunyai arti penting dan kegunaan yang besar bagi suatu negara. Namun dalam perkembangnnya arti kata statistic hanya dibatasi pada kumpulan bahan keterangan yang berwujud angka saja.[22]
            Dari segi terminologi statistic dapat diberi pengertian sebagai ilmu pengetahuan yang membahas dan mengembangkan prinsip, metode dan prosedur yang perlu ditempuh dalam rangka a. pengumpulan data angka, b. penyusunan dan pengaturan data angka,c. penyajian data angka, d. penganalisaan terhadap data angka, e. penarikan kesimpulan, f. pembuatan perkiraan, serta g. penyusunan ramalan secara ilmiah (dalam hal ini secara matematik) atas dasar pengumpulan data angka tersebut.[23]
            Statistika merupakan sarana berpikir yang diperlukan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah, statistic membantu melakukan generalisasi dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan terjadi secara kebetulan. Logika dan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif untuk mencari konsep yang berlaku umum.[24]
Penarikan kesimpulan induktif pada hakikatnya berbeda dengan penarikan kesimpulan secara deduktif. Dalam penalaran deduktif suatu kesimpulan  dianggap benar sekirannya premis-premis yang dipergunakan adalah benar dan dengan prosedur penarikan yang sah. Sedangkan dalam penalaran induktif meskipun premis-preemisnya benar dan prosedur penarikannya juga sah, maka kesimpulannya belum tentu benar. Logika induktif tidak memberikan kepastian, yang dapat dikatakan adalah kesimpulan itu mempunyai peluang untuk benar. Dengan statistika  memungkinkan untuk menghitung tingkat peluang dengan eksak.
            Statistika merupakan pengetahuan yang memungkinkan untuk menarik kesimpulan secara induktif berdasarkan peluang tersebut. Menurut bidang kajiannya statistika dapat dibedakan sebagai statistika teoritis dan statistika terapan. Statistika teoritis merupakan pengetahuan yang mengkaji dasar-dasar teori statistika dimulai dari teori penarikan contoh, ditribusi, penaksiran dan peluang. Sedangkan statistika terapan merupakan penggunaan statistika teorits yang disesuaikan dengan tempat penerapanya.
Penarikan kesimpulan secara induktif dihadapkan  kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus diamati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum yang tentu saja membawa konsekwensi biaya dan waktu yang tidak sedikit. Hal ini akan menjadikan kegiatan ilmiah menjadi sesuatu yang sangat mahal yang mengakibatkan penghalang bagi kemajuan bidang keilmuan. Disinilah statistika memberikan sebuah jalan keluar untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan hanya mengamati sebagian dari populasi, walaupun kesimpulan yang diambil tidak seteliti jika penarikan itu didasarkan pengamatan kepada semua populasi.[25]
            Pada dasarnya dalam menarik suatu kesimpulan statistika menggunakan asas yang sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil maka makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut. Sebalikya makin sedikit contoh yang diambil maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya. Karakteristik ini memungkinkan untuk dapat memilih dengan seksama tingkat ketelitian yang dibutuhkan sesuai dengan hakikat permasalahan yang dihadapi. Tiap permasalahan membutuhkan tingkat ketelitian yang berbeda-beda.
            Statistika juga memberikan kemampuan untuk mengetahui apakah suatu hubungan kausalita antara dua factor atau lebih bersifat kebetulan atau memang benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat empiris. Dalam hal ini statistika berfungsi meningkatkan ketelitian pengamatan dalam menarik kesimpuan dengan jalan menghindarkan hubungan semu yang bersifat kebetulan. Terlepas dari itu dalam suatu penarikan kesimpulan secara induktif, kekeliruan memang tidak bisa dihindarkan.
            Mengingat manfaat yang diberikan  maka penguasaan statistika mutlak diperlukan untuk dapat berpikir ilmiah dengan sah agar kita tidak terjebak pada pemikiran  deduktif semata yang kadang  mengacaukan suatu kesimpulan. Kita cenderung untuk berpikir logis deduktif dan menerapkan prosedur yang sama untuk kesimpulan induktif. [26]

Kesimpulan :
Dalam perspektif keilmuan, berpikir ilmiah bukanlah berpikir biasa. Pemikiran keilmuan adalah pemikiran yang sungguh-sungguh. Dalam hal ini berpikir  merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan
Untuk melakukan kegiatan pemikiran ilmiah secara baik deperlukan sarana untuk berpikir berupa bahasa, logika, matematika dan statistika. Tersediaanya sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat
Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dimana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif.

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, (Jakarta:  PT. Rajagrafindo,    Persada, 2007)

Nasution Harun, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta, Penerbit Universitas
 Indonsia : 1986)

Suriasumantri, Jujun S, Ilmu dalam perspektif, (Jakarta :       Yayasan Obor
            Indonesia, 1999)
__________________, Filsafat Ilmu-Sebuah Pengantar Populer,    (Jakarta :
            CV. Muliasari, 2003 )

Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta, PT Bumi
 Aksara : 2007)



[1] Suriasumantri, Jujun S, Ilmu dalam perspektif, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1999) hal. 1
[2] Nasution Harun, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta, Penerbit Universitas Indonsia : 1986) hal 48
[3] Ibid, hal 49
[4] Ibid, hal 49
[5] Ibid, hal. 52
[6] Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu-Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : CV. Muliasari, 2003 ) hal. 165
[7] Ibid, hal. 169
[8] [8]Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Rajagrafindo, Persada, 2007) hal 175
[9] Ibid, hal 176
[10] Ibid,  
[11] Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu …. Hal 173
[12] Ibid, hal . 175
[13] Ibid, hal 181
[14] Ibid, hal 182
[15] Ibid, hal 190
[16] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…. Hal 193
[17] Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu …. Hal 193
[18] Ibid, hal 195
[19] Ibid, hal 199
[20] Ibid hal, 203
[21] Ibid, hal 205
[22] Surajiyo, Filsafat Ilmu …, hal 42
[23] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…. Hal 194
[24] Surajiyo, Filsafat Ilmu… hal 43
[25] Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu …. Hal 221
[26] Ibid, hal. 218

0 comments:

Posting Komentar