Minggu, 06 November 2011

Intiqal Wali Nikah


INTIQAL WALI NIKAH[1]
Oleh : Toto Supriyanto, M.Ag


A.     Pendahuluan
          Akad pernikahan merupakan akad yang istimewa daripada akad-akad lainnya seperti jual-beli atau gadai. Akad nikah dianggap oleh ulama sebagai hal yang harus ditangani dengan hati-hati (aqd khatir)[2] karena akan be...rimplikasi kepada anak dan hal-hal lain yang ditimbulkan karena pernikahan seperti hak warisan.
Salah satu unsur yang paling utama dari akad nikah adalah wali nikah. Hanya wali nikah yang memiliki hak untuk menikahkan wanita yang berada dalam perwaliannya. Hak ini diberikan Islam kepada wali nikah, karena wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri[3]. Jika wanita menikahkan dirinya sendiri, maka berarti ia telah berzina.
          Tetapi dalam realitanya, wali nikah yang berhak menikahkan terkadang kehilangan hak perwaliannya karena hal-hal tertentu, yang mengharuskan hak walinya berpindah kepada wali nikah lain yang dalam hierarki berada pada ring yang lebih jauh daripadanya. Perpindahan hak wali nikah ini dalam term fiqh dikenal dengan intiqal wali nikah.
Makalah ini berupaya menyajikan informasi mengenai intiqal wali nikah baik dari jenis ataupun sebab-sebabnya, serta pilihan antara intiqal atau mewakilkan perwalian (tawkil). Untuk menuju komprehensifnya pembahasan, sebelumnya dideskripsikan terlebih dahulu mengenai wali nikah, yang meliputi posisinya dalam pernikahan, syarat-syarat, serta urutan tertibnya.

B.    Wali Nikah 
1.       Arti Wali dan Sebab Disyariatkannya
Secara bahasa, wali bisa berarti rasa cinta (mahabbah) dan pertolongan (nushrah), bisa juga berarti kekuasaan (sulthah) dan kekuatan (qudrah)[4]. Ini berarti, seorang wali adalah orang yang menolong atau orang yang memiliki kekuasaan. Sedangkan menurut istilah, (seseorang yang memiliki) kekuasaan untuk melangsungkan suatu perikatan/akad tanpa harus adanya persetujuan dari orang (yang di bawah perwaliannya)[5]
Kenapa harus ada wali, apa sebabnya?
Menurut Al-Zuhaily, sebab disyariatkannya wali bagi pernikahan adalah untuk menjaga kemashlahatan wanita dan menjaga agar hak-hak si wanita tetap terlindungi, karena (sifat) lemah yang dimiliki si wanita[6]. Maksudnya, karena lemahnya (baik lemah fisik atau lemah akal) si wanita, bisa jadi si wanita salah dalam memilih suami atau menentukan maskawinnya. Karena itu, wali “mengambil” kekuasaan darinya untuk menikahkannya kepada orang yang dikehendaki wali untuk kepentingan si wanita, bukan untuk kepentingan pribadi wali.

2.      Posisi Wali dalam Pernikahan
Wali adalah salah satu rukun (akad) nikah[7], selain calon pengantin laki-laki, dua saksi, dan ijab-qabul. Pernikahan harus dengan wali, apabila dilangsungkan pernikahan tidak dengan wali atau yang menjadi wali bukan yang berhak, maka pernikahan tersebut tidak sah[8], batal.[9].
Memang ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa wali bukan rukun (akad) nikah: wali (yang berhak menikahkan) tidak perlu hadir dalam akad nikah, asal wali telah mengizinkannya. Tetapi pendapat tersebut sulit untuk diaplikasikan, karena tidak mungkin (dan dilarang) wanita menikahkan dirinya sendiri. Dalam prakteknya, tetap si wanita harus mengangkat terlebih dahulu seseorang untuk menikahkan dirinya, dan itu adalah wali.
Jadi, bagaimanapun kondisinya, wali harus bin wajib ada (hadir) dalam (akad) nikah, dari jenis apapun walinya, seperti yang diterangkan di bawah ini.

3.      Jenis Wali Nikah
         a.      Menurut Kewenanganya
1)      Wali Mujbir
Menurut madzhab Syafi’iy, wali mujbir adalah wali yang berhak menikahkan wanita perawan, baik perawan tersebut masih kecil ataupun sudah besar, walaupun tidak ada persetujuan dari perawan tersebut. Walaupun begitu, wali sangat dianjurkan (mustahab) untuk meminta persetujuannya terlebih dahulu. Yang termasuk wali mujbir menurut Syafi’iyah adalah ayah dan kakek.[10]
Ini berarti, wali selain ayah dan kakek jika akan memilihkan calon suami atau menetapkan mahar bagi wanita perawan harus terlebih dahulu meminta persetujuannya, karena bukan termasuk wali mujbir.
Dalil yang diusung Syafi’iyah adalah hadits riwayat Daruquthny sebagai berikut:
الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر يزوجها أبوه
“Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya; (sedangkan) perawan, dinikahkan oleh oleh ayahnya.”
Juga hadits riwayat Muslim di bawah ini:
والبكر يستأمرها أبوها وإذنها سكوتها
“Perawan diaturkan (urusannya) oleh ayahnya, idzinnya (persetujuannya) adalah diamnya.”
Berbeda dengan Syafi’iyah, Hanafiyah berpendapat bahwa wali mujbir adalah semua wali—baik karena hubungan darah, karena kepemilikan (hamba sahaya), karena memerdekakan, karena muwalah[11], dan karena imamah[12]—jika menikahkan wanita yang masih kecil, tidak memandang wanita tersebut perawan atau janda[13].
Mirip dengan pendapat Hanafiyah, Madzhab Hanbaly juga berpenapat bahwa wali mujbir adalah bagi wanita yang masih kecil. Hanya saja, wali yang termasuk mujbir hanya ayah, wushy[14], dan hakim.[15]
Dalil yang dijadikan landasan bagi Hanafiyah dan Hanabilah adalah hadits yang senada dengan hadits yang diusung Syafi’iyah, namun berbeda dalam memahaminya. Jika Syafi’iyah memahami bahwa ayah (termasuk kakek) memiliki hak menikahkan perawan tanpa harus ditanya persetujuannya terlebih dahulu, Hanafiyah dan Hanabilah memahami bahwa perawan pun jika sudah besar harus ditanya persetujuannya terlebih dahulu, yang tanda persetujuannya adalah diam, sedangkan janda adalah dengan ungkapan lisannya.
Yang perlu dicatat, wali mujbir dalam fiqh Indonesia, yang berbentuk perundang-undangan, tidak lagi diakui. Calon pengantin wanita, bagaimanapun keadaannya harus ditanya persetujuannya untuk menikah dengan calon mempelai laki-laki[16]. Ada atau tidak adanya persetujuan calon pengantin wanita harus dituliskan dalam Daftar Pemeriksaan Nikah (model NB).

2)      Wali Mukhayyir
Menurut madzhab Syafi’iy, semua wali (termasuk ayah dan kakek) adalah wali mukhayyir bagi janda, yang harus ditanya terlebih dahulu persetujuan dari janda tersebut, ketika wali memilihkan calon suami atau maskawin untuknya. Jika janda tersebut masih kecil, belum akil-baligh[17], maka wali tidak boleh menikahkannya sehingga ia sudah akil-baligh.[18]
Sementara, yang dimaksud wali mukhayyir oleh Hanafiyah dan Hanabilah adalah semua wali yang disebutkan di atas, ketika menikahkan wanita yang sudah dewasa, tanpa memandang perawan atau jandanya[19].

         b.      Menurut Garis Keturunan dan Sebab Lain
Banyak jenis wali yang dimunculkan para ulama, baik yang berhubungan dengan keturunan/nasab ataupun dengan sebab lainnya, antara lain: wali nasab, wali karena membeli hamba sahaya (wali milk), wali karena memerdekakan hamba sahaya (wali mu’tiq), wali karena wasiat (wali wusha), wali karena perjanjian tertentu (wali walayah), wali hakim, dan wali muhakkam. Namun, yang disinggung dalam fiqh Indonesia hanya tiga: (1) wali nasab, (2) wali hakim, dan (3) wali muhakkam.
Wali nasab adalah pria beragama Islam yang berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah  menurut hukum Islam,[20] bukan dari garis keturunan (rahim) ibu (dzawil arham)[21].
Wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai Wali Nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali[22]. Definisi tersebut perlu dikritisi, terutama ungkapan “bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali”. Lebih tepat kiranya jika ungkapan tersebut diubah menjadi “bagi calon mempelai wanita yang karena hal-hal tertentu yang menurut peraturan mengharuskan menikah menggunakan wali hakim”.
Wali Muhakkam adalah seorang yang diangkat oleh kedua calon suami isteri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka[23].

4.      Syarat Wali Nikah
Di antara syarat wali nikah yang disepakati (sebagian) ulama adalah, (1) ahliyah yang sempurna, yang meliputi baligh, berakal, dan merdeka[24]; (2) muslim; (3) laki-laki; (4) adil; dan (5) rusyd, atau mursyid.[25]
Adil yang dimaksud ialah sikap istiqamah (berpegang teguh) pada agama, dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya, serta menghindari dosa-dosa besar seperti berzina, meminum khamr, durhaka kepada orang tua, dan dosa besar lainnya, dengan tanpa memandang sepele dosa kecil.[26]
Adapun sifat rusyd atau mursyid, menurut Hanabilah adalah mengetahui kufu (kesepadanan antara si wanita dengan calon suami) dan kemashlahatan nikah. Sedangkan menurut Syafi’iyah adalah tidak memiliki sifat menghambur-hamburkan (tabdzir) harta.[27]
Malikiyah memberi tambahan dua syarat: (1) wali tidak sedang melaksanakan haji atau umrah; dan (2) tidak dalam keadaan dipaksa.[28]
Kompilasi Hukum Islam yang merupakan fiqh Indonesia yang diinstruksikan presiden untuk dijadikan acuan, pada pasal 20 ayat (1) hanya memberikan tiga syarat bagi wali nikah, yakni: (1) muslim, (2) akil, dan (3) baligh. Kemudian, Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji pada tahun 2000 juga menerbitkan Pedoman Fiqh Munakahat[29], yang juga mengajukan serentetan syarat bagi wali nikah, yaitu:
islam; baligh; berakal; tidak dipaksa; laki-laki; adil; tidak sedang ihram haji; tidak dicabut haknya dalam menguasai harta; dan tidak rusak pikiranyna karena tua atau sebagainya.
5.      Tertib Urutan Wali Nikah
Tidak ditemukan ayat Alquran ataupun hadits Nabi saw. yang memberi penjelasan langsung mengenai tertib urutan wali. Yang ada hanya pendapat shahabat[30].
Tertib urutan (wali) nikah pada dasarnya sama dengan tertib urutan dalam warisan[31]. Tetapi para ulama berbeda penapat mengenai posisi kakek dan anak.. Sebagian ulama mengutamakan kakek, yang lainnya lebih mengunggulkan anak.

         a.      Menurut Madzhab Fiqh
1)      Menurut Hanafiyah[32]
a)      anak, cucu, ke bawah;
b)     ayah, kakek, ke atas;
c)      saudara kandung, saudara seayah, anak keduanya, ke bawah;
d)     paman sekandung, paman seayah, anak keduanya, ke bawah;
e)      orang yang memerdekakan;
f)       kerabat lainnya (al-usbah al-nasabiyah); dan
g)      sulthan atau wakilnya.

2)      Menurut Malikiyah[33]
a)      anak, cucu, ke bawah;
b)     ayah;
c)      saudara kandung, saudara seayah, anak saudara kandung, anak saudara seayah
d)     kakek;
e)      paman, anak paman (dengan mendahulukan sekandung daripada yang lainnya);
f)       ayah kakek;
g)      paman seayah, anak paman seayah;
h)     paman kakek, anak paman kakek;
i)        orang yang memerdekakan, keturunannya;
j)        orang yang mengurus dan mendidik wanita dari kecil hingga akil-baligh;
k)      hakim; dan
l)        semua muslim (jika urutan di atas tidak ada).

3)      Menurut Syafi’iyah[34]
a)      ayah, kakek, ke atas;
b)     saudara sekandung, saudara seayah, anak saudara sekandung, anak saudara seayah
c)      paman;
d)     keturunan lainnya (seperti hukum waris);
e)      orang yang memerdekakan, keturunannya; dan
f)       sulthan.

4)      Menurut Hanabilah[35]
a)      ayah;
b)     kakek, ke atas;
c)      anak, cucu, ke bawah;
d)     saudara kandung;
e)      saudara seayah;
f)       anak saudara, ke bawah;
g)      paman sekandung, anak paman, ke bawah;
h)     paman seayah, ke bawah;
i)        orang yang memerdekakan; dan
j)        sulthan.

         b.      Menurut Peraturan Perundang-undangan
Kompilasi Hukum Islam pada pasal 21 ayat (1) membagi urutan kedudukan wali nikah dengan empat kelompok. Kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lainnya, yaitu:
1)      kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya;
2)      kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka;
3)      kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka;
4)      kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.

Adapun menurut Pedoman Fiqh Munakahat[36], urutan wali adalah:
1)      ayah;
2)      kakek (ayahnya ayah);
3)      saudara laki-laki kandung;
4)      saudara laki-laki seayah;
5)      anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung;
6)      saudara laki-laki dari saudara laki-laki seayah;
7)      saudara ayah (paman) kandung;
8)      saudara ayah (paman) seayah;
9)      anak laki-laki paman kandung;
10)  anak laki-laki paman seayah;
11)  wali hakim

C.    Jenis dan Sebab Intiqal Wali Nikah
1.       Dari Wali Aqrab ke Wali Ab’ad
Menurut jumhur ulama, jika wali ab’ad menikahkan wanita padahal masih ada wali aqrab (yang urutannya lebih dekat), maka akad nikahnya tidak sah. Perpindahan dari wali aqrab ke wali ab’ad hanya dapat terjadi karena keadaan wali aqrab seperti di bawah ini:
ia adalah hamba sahaya; gila; bodoh (kurang akal); kafir; dan sedang ihram (mengerjakan haji).[37] Pasal 22 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan dua sebab bergesernya wali nikah dari aqrab ke ab’ad, yaitu:
Jika tidak memenuhi syarat-syarat sebagai wali nikah; dan Jika wali nikah menderita tuna wicara, tuna rungu, atau sudah udzur. Menurut pendapat Hanafiyah, jika wanita dinikahkan oleh wali ab’adnya, padahal ada wali aqrab, maka sahnya akad nikah tergantung ada atau tidaknya izin dari wali aqrabnya itu. Jika wali aqrabnya mengizinkan, maka akad nikah sah, jika ia tidak mengizinkan, maka akad nikah batal. Tetapi, jika wali aqrabnya tersebut masih kecil atau gila, maka perwalian berpindah kepada wali ab’adnya.[38]
Menurut Malikiyah, jika wali ab’ad menikahkan wanita, padahal wali aqrabnya masih ada, maka akad pernikahannya tetap sah, asal wanita tersebut berkenan, setuju.[39]

2.      Dari Wali Nasab ke Wali Hakim
Pada asalnya, wali hakim berfungsi sebagai penyeimbang. Wali hakim digunakan ketika tidak ada lagi wali nasab. Dalam hadits Nabi saw., perpindahan dari wali nasab ke wali hakim didasarkan pada adanya perselisihan antara para wali, seperti dipahami dari hadits dari Aisyah di bawah ini:

أيما امرأة نكحت يغير إذن وليها فنكاحها باطل باطل باطل فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها فإن استجروا فالسلطان ولي لمن لا ولي لها (أخرجه الأربعة إلا النسائى وصححه أبو عوانة وابن حبان والحاكم)
“Wanita apapun[40] yang menikah tanpa idzin walinya, maka nikahnya batal, batal, batal. Jika suami telah menggaulinya, maka wanita tersebut berhak atas maskawin sebagai penghalal kemaluannya. Jika para wali tersebut berselisih, maka shulthan menjadi wali bagi wanita yang tidak memiliki wali (karena berselisih).” (Diriwayatkan oleh Imam Empat kecuali Al-Nasa’iy. Abu Awanah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim menilai hadits ini shahih)
Pasal 2 ayat (1) PMA Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim menyebutkan sebab-sebab perpindahan dari wali nasab ke wali hakim, antara lain:
tidak mempunyai wali nasab yang berhak wali nasabnya tidak memenuhi syarat; wali nasabnya mafqud; wali nasabnya berhalangan hadir[41]; wali nasabnya adhal. Kompilasi Hukum Islam pasal 23 ayat (1) juga menyebutkan sebab-sebab yang senada dengan PMA Nomor 2 tahun 1987 di atas, hanya berbeda sedikit redaksinya, yaitu, “Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tiak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.”
Sebab-sebab yang lebih rinci lagi dikemukakan Pedoman Fiqh Munakahat dari Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji[42], yaitu:
karena tidak mempunyai wali nasab sama sekali, atau walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya, atau wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada, atau wali berada di tempat jaraknya sejauh masafatul qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan sholat qasar) yaitu 92,5 km, atau wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai, atau wali adhal, artinya wali tidak bersedia atau menolak untuk menikahkan, atau wali sedang melakukan ibadah haji/umrah. Maka yangberhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut adalah wali hakim. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali.
Ada satu sebab lagi yang menyebabkan intiqal dari nasab ke hakim. Sebab tersebut adalah anak hasil di luar nikah (anak tidak sah). Menurut pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa anak yang dilahirkan di luar pernikahan hanya mempnyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. KHI pasal 100 lebih menegaskan lagi bahwa anak tersebut tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Karena tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, maka wanita tersebut tidak memiliki seorang wali nasab pun, karena barisan wali nasab adalah dari garis ayah. Oleh sebab itu, maka perwaliannya berpindah kepada wali hakim.

3.      Dari Wali Hakim ke Wali Muhakkam
Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim, padahal di tempat itu tidak ada wali hakim, maka pernikahan dilangsungkan dengan wali muhakam. Caranya ialah kedua calon suami-isteri mengangkat seorang yang mempunyai pengertian tentang hukum-hukum untuk menjadi wali dalam pernikahan mereka[43].

4.      Intiqal karena Wali Nikah Tidak Memenuhi Syarat
Sub bahasan ini sengaja dimajukan karena mengandung masalah yang menarik. Masalahnya ada dua: (1) intiqal karena wali nikah tidak memenuhi syarat menjadi sebab intiqal dari wali aqrab ke wali ab’ad, juga menjadi sebab intiqal dari wali nasab ke wali hakim; (2) bagaimana teknis menentukan adil atau tidaknya seorang wali
Jika seorang wali tidak beragama Islam, yang lebih tepat apakah intiqal ke wali ab’ad ataukah ke wali hakim?
Secara konsep dasar perwalian nikah sama dengan warisan. Karena dalam warisan, jika ahli waris tidak beragama Islam, maka bagian waisannya berpindah kepada ahli waris lainnya. Jika konsep dasar tersebut dipertahankan, tentunya perwalian karena wali tidak beragama Islam, juga berpindah kepada wali ab’ad, bukan kepada hakim.
Mengenai menilai adil atau tidaknya wali nikah, secara teknis sulit untuk dilakukan, karena lazimnya penhulu hanya bertemu dengan wali nikah sekali atau dua kali: ketika menerima pemberitahuan kehendak nikah dan ketika akad nikah. Sementara, untuk menyimpulkan kualitas adil dalam pengertian berpegang teguh kepada agama dengan melaksanakan kewajibannya dan meninggalkan dosa-dosa besar dan tidak menganggap remeh dosa kecil, memerlukan penelitian mendalam, dengan melihat hidup keseharian wali nikah.
Bagaimana jika diketahui bahwa wali memang sering tidak melakukan sebagian (saja) kewajiban agama, seperti hanya melakukan Shalat Jumat saja; atau wali yang selalu melaksanakan shalat, tetapi nyandu minuman keras dan berzina. Apakah hak perwaliannya berpindah ke wali ab’ad?

D.    Opsi Antara Intiqal atau Tawkil
Masalah berikutnya adalah, jika intiqal bukan diakibatkan oleh karena hilangnya hak perwalian, seperti karena wali jauh atau dipenjara, langkah yang paling baik apakah langsung dilakukan intiqal atau diusahakan dengan membuat tawkil wali?

E.    Penutup
Demikianlah sedikit informasi mengenai intiqal wali nikah, dengan menyisakan beberapa catatan sebagai berikut:
Bagi penghulu, ketentuan final adalah peraturan perundang-undangan. Selain karena akan dikenai sanksi dan hukuman jika melanggarnya, juga karena qanun merupakan hierarki hukum Islam yang paling tatbiqy (aplikatif), setelah fatwa, fiqh, dan nash (Alquran dan Hadits). Jika ada masalah yang belum diatur dalam perundang-undangan, penyelesaiannya dapat mengadopsi fatwa atau fiqh atau jika memungkinkan, berijtihad langsung dari Alquran dan Sunnah.

DAFTAR PUSTAKA

Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Pedoman Fiqh Munakahat, Jakarta: 2000
H. Idrus Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah: Fiqh Menurut Mazhab Syafi’i, Widjaya,  Jakarta: 1969
Kompilasi Hukum Islam dalam Lampiran Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
Muhammad Ibn Isma’il al-Kahlany, Subul al-Salam Syarh Bulug al-Maram min Jam’i Adillah al-Ahkam, Thoha Putera, Semarang: t.th
Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim
Taqy al-Din Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husainy, Kifayah al-Ahyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar, Juz II,  Semarang: t.th
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pekawinan
Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz IV. Dar al-Fikr, Beirut: 1989
Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz VII: al-Ahwal al-Syahshiyyah, Dar Al-Fikr, Beirut: 1989



[1] Toto Supriyanto, M.Ag; Sekretaris Pokjahulu Kota Bandung, Penghulu Muda pada KUA Kec. Coblong

[2] Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz IV. Dar al-Fikr, Beirut: 1989. hlm. 102; Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz VII: al-Ahwal al-Syahshiyyah, Dar Al-Fikr, Beirut: 1989, hlm. 195

[3] Hadits dari Abu Hurairah, diriwayatkan oleh Ibn Majah, al-Daruqutny)

[4] Al-Zuhaily, Juz VII, hlm. 186

[5] Ibid.

[6] Ibid., hlm. 187

[7] Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam dalam Lampiran Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam

[8] Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Pedoman Fiqh Munakahat, Jakarta: 2000, hlm. 17

[9] Al-Zuhaily, Juz VII, hlm. 186

[10] Ibid., hlm. 191

[11] Karena kesepakatan antara wali (yang berhak menikahkan) dengan seseorang (di luar barisan wali), dimana si wali menetapkan bahwa wanita yang di bawah perwaliannya akan dinikahkan oleh seseorang tersebut. Ini mirip seperti praktek  tawkil.

[12] Yakni shulthan atau wali hakim

[13] Al-Zuhaily, Juz VII, hlm. 187

[14] Adalah orang yang diberi wasiat oleh wali (yang berhak menikahkan) untuk menikahkan orang yang berada dalam perwaliannya.

[15] Al-Zuhaily, Juz VII, hlm. 193

[16] Lihat pasal 6 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pekawinan

[17] Sembilan tahun adalah ambang batas yang ditetapkan sebagian ulama untuk menentukan besar atau kecilnya (baligh atau belumnya) wanita. 9 tahun ke atas adalah wanita besar; kurang dari 9 tahun adalah masih kecil; lihat Al-Zuhaily, Juz VII, hlm. 193

[18] Ibid., hlm. 191

[19] Ibid., hlm. 189

[20] Pasal 1 poin b  PMA No. 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim

[21] Muhammad Ibn Isma’il al-Kahlany, Subul al-Salam Syarh Bulug al-Maram min Jam’i Adillah al-Ahkam, Thoha Putera, Semarang: t.th, hlm. 117

[22] Pasal 1 poin b  PMA No. 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim

[23] Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Pedoman Fiqh Munakahat,Jakarta: 2000,  hlm. 19

[24] Semua orang di zaman sekarang adalah merdeka, karena tidak ada lagi perbudakan. Walaupun begitu, syarat ini tidak bisa serta merta dihapuskan, karena mungkin saja suatu saat budaya dunia kembali kepada budaya perbudakan, karena Allah memutarkan hari-hari di antara manusia (lihat Alquran Surat Ali Imran ayat 140). Selain itu, syarat merdeka bisa juga diartikan dengan tidak berada di bawah tekanan atau paksaan seseorang.

[25] Al-Zuhaily, Juz VII, hlm. 195—198

[26] Ibid., hlm. 197

[27] Ibid.

[28] Ibid., hlm. 198

[29] Halaman 7

[30] Al-Zuhaily,  Juz VII, hlm. 200

[31] Taqy al-Din Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husainy, Kifayah al-Ahyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar, Juz II,  Semarang: t.th, hlm.52

[32] Al-Zuhaily, Juz VII, hlm. 199

[33] Ibid., hlm. 204

[34] ibid, hlm. 206

[35] Ibid., hlm. 207

[36] Halaman 6

[37] H. Idrus Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah: Fiqh Menurut Mazhab Syafi’i, Widjaya,  Jakarta: 1969, hlm.183

[38] Al-Zuhaily, Juz VII, hlm. 199

[39] Ibid., hlm. 205

[40] Perawan ataupun janda

[41] Dalam Penjelasan PMA tersebut, yang dimaksud “berhalangan” adalah: walinya ada, tetapi sedang ditahan, tidak dapat dijumpai, masafatul qasri/jarak jauh yang sulit dihubungi dan sebagainya.

[42] Halaman 18—19
 

0 comments:

Posting Komentar