Selasa, 19 Juli 2011

Pernikahan Sirri, Problem dan Solusinya


PERNIKAHAN SIRRI, PROBLEMA DAN SOLUSINYA[1]
Oleh : Drs. H. Imam Mawardi, M.S.I.[2]

Pendahuluan
            Fenomena pernikahan sirri atau umum menyebutnya dengan kawin sirri menurut berbagai pihak telah merebak sampai pada tingkat mencemaskan[3]. Umumnya kawin sirri didefinisikan sebagai perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan agama (Islam), namun perkawinan itu tidak mempunyai kekuatan hukum karena belum dicatat oleh pegawai pencatat perkawinan dalam hal ini kantor urusan agama kecamatan sebagaimana ditentukan oleh perundang-undangan, dan oleh karena itu si pelaku tidak mendapatkan akta autentik berupa kutipan akte nikah atau buku nikah sebagai bukti pernikahannya[4].
Berbeda dengan kawin sirri sebagaimana yang dipersepsi dalam kitab-kitab fikih, dalam hal ini kawin sirri didefinisikan sebagai pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa adanya dua orang saksi sebagaimana yang disyaratkan, apalagi diketahui khalayak ramai[5]. Permikahan demikin inilah nampaknya yang metarabelakangi pernyataan Nabi bahwa “tidak ada perkawinan tanpa danya wali dan dua orang saksi yang adil”[6]. Dan juga pernyataan beliau “Adakan walimah (atas pernikahanmu) meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing”[7].
Berbeda pula dengan suatu upacara perkawinan yang dilakukan oleh suatu masyarakat tanpa memperhatikan syarat dan rukun yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan agama Islam. Biasanya perkawinan demikian hanya mempermaklumkan kepada masyarakat bahwa seseorang telah menjalin hubungan sebagai suami isteri dan oleh karena itu kehidupan mereka menjadi diterima di tengah-tengah masyarakat. Fenomena ini biasa disebut dengan istilah kawin kampung[8].
Tulisan ini membahas pernikahan sirri dalam pengertian pertama, yakni seseorang yng melangsungkan pernikahan dengan memenuhi kriteria gama (Islam) sebagai unsur yang harus ada (rukun), meliputi adanya calon mempelai, wali, saksi dan ijab qobul, namun pada kenyataannya belum sepenuhnya mengikuti prosedur sebagaiman ditentukan oleh undang-undang perkawinan atau Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Masfuk Zuhdi mengkategorikan pernikahan demikian sebagai pernikahan di bawah tangan, karenanya tidak terdapat alat bukti autentik yang berupa akta nikah. Dan nikah demikian pada dasarnya adalah kebalikan dari nikah yang dilakukan tidak menurut hukum, sehingga nikah yang dilakukan menurut hukum. Dengan demikian nikah di bawah tangan ialah nikah yang dilakukan, sehingga nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum berupa pengakuan dan perlindungan hukum[9]. Maka sangat disayangkan apabila orang telah mentaati perintah agama tapi justru tidak mendapatkan perlindungan hukum hanya karena tidak terpenuhinya pencatatan pernikahannya. Pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang melakukan pernikahan seperti ini, entah karena keenggananya atau karena ketidakmengertiannya akan pentingnya hal ini. Permasalahannya adalah, apa problema yang mereka rasakan dan apa jalan keluar yang bisa ditempuh agar masyarakat mentaati peraturan perundang-undangan tentang pernikahan ini, berikut akan kita uraikan problema dan solusi terhadap pernikahan sirri.

Probleman Pernikahan Sirri
Pernikahan sirri betapapun dilakukan memenuhi ketentuan agama, akan tetapi karena kurang memenuhi prosedur pencatatan sesuai yang dikehendaki undang-undang, akan membawa banyak kemadlorotan, terutama berkaitan dengan upaya tertib administrasi kependudukan. Oleh karena itu sudah seharusnya pernikahan seperti ini dihindari. Pencatatan perkawinan memang hanyalah sebuah sarana, bukan substansi, namun demikian karena urgensinya maka keberadaannya menjadi sebuah keharusan. Perhatikan kaidah ushul yang mengatakan : “Lil wasaaili hukmul maqaasid” atau kaidah lain : “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fhuwa wajibun”. Apalagi bila memperhatikan perintah Allah dalam hutang-pihutang saja adanya keharusan mencatat[10] maka sebuah perkawinan yang disebut al-Qur’an sebagai “miitsaaqon gholiidhon”[11] tentu pencatatannya jauh lebih wajib dilakukan.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri ternyata masih banyak umat Islam yang kurang memperhatikan masalah ini. Ada beberapa alasan mengapa pencatatan pernikahan tidak dilakukan meskipun sebenarnya banyak yang mereka lakukan itu hanyalah bersifat sementara saja. Hasil penelitian yang dilakukan Fakultas Hukum UGM dengan Departemen Agama RI pada tahun 2003, khususnya alasan yang melatarbelakangi beberapa anggota masyarakat melakukan pernikahan sirri dapat dikemukakan di sini bahwa secara umum dapat dikategorikan menjadi : alasan ekonomis, birokratis, tradisi dan keagamaan[12].
Sebagai alasan ekonomis dikemukakan oleh para responden berkisar pada keadaan bahwa mereka merasa belum cukup mmpu untuk membiayai sebuah keluarga dengan segala sarana pendukungnya (sandang, pangan dan papan) atau belum mempunyai biaya untuk melangsungkan perkawinan resmi dalam hal ini dibutukan biaya-biaya untuk pencatatan serta biaya mengadakan pesta perkawinan yang dipandang merupakan bagian dari harga diri keluarga, sehingga perlu persiapan matang terutama dari segi biaya. Oleh karena itu sambil menunggu segala sesuatunya dipandang siap untuk mengadakan perkawinan resmi yng sesuai dengan status sosial kedua belah pihak dan kedua mempelai juga telah cukup mandiri, maka mereka sepakat melangsungkan perkawinan secara sirri, tanpa prosedur undang-undang dan dengan demikian tanpa disaksikan pejabat yang berwenang[13].
Yang termasuk alasan birokratis adalah bahwa perkawinan sirri dilakukan sifatnya hanya sementara waktu sebelum dilakukan perkawinan resmi melalui Pegawai Pencatat Nikah atau Kantor Urusan Agama Kecamatan, karena masih adanya hambatan-hambatan atau pertimbangan-pertimbangan tertentu menyangkut semua persyaratan menurut Undang-Undang Perkawinan, khususnya mereka yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil atau nggota ABRI. Alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan para responden sehingga mereka melakukan perkawinan di bawah tangan dan tidak langsung kawin resmi dalah menunggu waktu terpenuhinya semua persyaratan perkawinan yang ditentukan oleh undang-undang. Hal ini terjadi karena kondisi-kondisi tertentu yang erat kaitannya dengan urusan administrasi dan birokrasi, misalnya adanya ketentuan persyaratan dinas bagi anggota angkatan bersenjata yang tidak boleh melakukan perkawinan selama masa pendidikan serta perkawinan yang akan dilakukan oleh pegawai negeri sipil di mana izin poligami atau proses perceraiannya belum selesai, padahal keadaan sudah sngat mendesak, baik tuntutan biologis maupun tuntutan lingkungan masyarakat sekelilingnya untuk segera menikah dan mempunyai status sebagai isteri yang sah walaupun baru menurut hukum agama, dari pada terperosok pada perbuatan zina. Di samping itu juga mencegah dilakukannya dosa secara terus menerus dan terkatung-katung (dalam hal ini si calon isteri telah hamil), maka melakukan perkawinan di bawah tangan dipndang sebagai suatu jalan keluar cukup bijaksana[14].
Alasan yang bersifat tradisi berkaitan dengan adanya kepercayaan terhadap bulan-bulan baik atau sehari-hari baik dan sebaliknya ada bulan dan hari yang tidak baik bagi pelaksanaan suatu pernikahan. Dengan alasan yang bersifat tradisi ini, maka orang memilih untuk menunda melakukan perkawinan resmi dan menempuh cara perkawinan sirri atau di bawah tangan. Menunggu hari-hari atau bulan-bulan baik, pada kenyataannya sudah membudaya dalam tradisi Jawa. Sebagaimana dimaklumi bahwa orang Jawa pada umumnya termasuk yang beragama Islam tetapi masih sangat menghormati adanya hari-hari atau bulan-bulan baik dari hari-hari atau bulan-bulan tidak baik untuk melakukan perkawinan. Jadi di sini seolah-olah mereka menganggap bahwa perkawinan sirri tu semacam tunangan untuk mengadakan perkawinan resmi yang disyaratkan sebaiknya dilakukan pada bulan-bulan baik. Sedangkan terhadap perkawinan sirri atau di bawah tangan itu dapat dilakukan kapan saja. Biasanya pelaksanaan perkawinan yang dilakukan seperti ini, para pelaku belum berani melakukan hubungan layakny suami isteri dalam perkawinan resmi[15].
Alasan keagamaan yang banyak dikemukakan oleh para pelaku perkawinan sirri atau di bawah tangan adalah agar terhindari dari dosa agar dapat melakukan hubungan layaknya suami isteri dengan tenang karena sudah dirasa halal. Sebagaimana diketahui bahwa dalam setiap melakukan kegiatan atau tindakan seseorang selalu mendasarkan pada keyakinan agama yang ia anut. Dalam hukum Islam sebagaimana telah banyak diketahui bahwa tujuan dari suatu perkawinan adalah untuk menghalalkan hubungan kelamin guna memenuhi hajat dan tabiat kemanusiaan atau menghindari dosa karena perzinaan. Di samping itu, perkawinan juga bertujuan untuk mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih dan untuk memperoleh keturunan yang sah. Gama Islam juga melarang keras adanya pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan bhkan berpandangan, bersentuhan dan berdua-duaan pun dapat dikategorikan sebagau perbuatan dosa, kecuali terhadap muhrim atu isterinya[16].
Mengamati hasil penelitian tersebut di atas, kita dapatkan kenyataan bahwa pada dasarnya masyarakat tidak menolak secara mutlak atau bisa dikatakan tidak dan yang mengingkari pentingnya pencatatan pernikahan, akan tetapi hal itu mereka lakukan semata-mata karena adanya kepentingan lain yang menghambat, atau bisa dikatakan bahwa apa yang mereka lakukan itu hanyalah bersifat sementara saja. Dari kenyataan ini maka ada beberapa solusi yang dapat dikemukakan menghadapi pernikahan sirri yang banyak terjadi di masyarakat. Solusi itu dapat bersifat preventif, kuratif dan antisipatif.

Solusi Terhadap Praktek Pernikhan Sirri
1.     Preventif : Menunjukkan Dampak Pernikahan Sirri
Akibat buruk dari pernikahan Sirri dapat dirasakan oleh para pelaku baik suami maupun isteri, bahkan anak yang lahir dari pernikahan inipun, yang nota bene tidak tahu menahu, juga akan dapat menanggung dampaknya. Seorang isteri yang ditinggal mati suaminya karena pernikahannya yang tidak mempunyai kekuatan hukum tidak dapat mewaris harta kekayaan yang dimilikinya. Seorang suami karena perkawinannya yang tidak legal tidak berhak atas pensiun isterinya yang berstatus pegawai negeri sipil[17]. Seorang anak dalam akta kelahirannya hanya dapat dinasabkan kepada ibunya dan tidak kepada bapaknya sebagaimana statusnya sebagai anak yang lahir di luar perkawinan yang sah karena kedua orang tuanya tidak memiliki akta perkawinannya  yang sah. Demikian seterusnya akibat buruk yang akan diderita oleh pasangan suami isterinya yang melakukan pernikahan sirri.
Dampak buruk yang demikian perlu terus menerus disosialisasikan kepada masyarakat agar mereka dapat berfikir mengambil keputusannya sendiri dengan tepat. Ketaatan terhadap suatu peraturan atas dasar kesadaran yang tumbuh dari diri sendiri adalah merupakan hal yang sangat positif dibanding dengan ketaatan terhadap suatu peraturan yang terkesan dipaksakan atas diri masyarakat.

2.    Kuratif : Itsbat Nikah di Pengadilan Agama
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Selanjutnya pasl 2 ayat (1) pda Bab II menegaskan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dilanjutkan dengan ayat (2) pada pasal dan bab yang sama bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-unangan yang berlaku”[18].
Bila dikaji dengan seksama maka pasal ini mengisyaratkan adanya keabsahan pernikahan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan agama (saja)[19]. Adapun pencatatan merupakan tindakan administratif yang harus dilakukan agar peristiwa pernikahan yang sudah sah menurut agama itu kemudian mempunyai kekuatan hukum. Dan pemahaman yang demikian ini pula yang membuat hakim Pengadilan agama dapat membuat suatu penetapan (itsbat) bahwa suatu pernikahan dinyatakan sah dalam arti memenuhi ketentuan agama selanjutnya memerintahkan pegawai  pencatat nikah untuk mencatatnya dalam buku register pernikahan. Maka dengan penetapan Pengadilan gama tersebut seseorang dapat menerima kutipan akta nikah yang diterbitkan KUA berdasarkan penetapan Pengadilan agama meskipun pernikahan itu telah dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya.
Proses Penetapan oleh Pengadilan Agama ini nampaknya dapat menjadi salah satu jalan keluar di dalam menyelesaikan permasalahan pernikahan sirri. Apalagi terhadap pernikahan yang dilakukan seseorang jauh sebelum peraturan tentang perkawinan ini diundangkan. Penetapan pengadilan juga akan sangat membantu seseorang yang karena sesuatu hal kehilangan kutipan akta nikah, sedang buku register yang semestinya dapat membantu penertiban duplikat di KUA juga tidak dapat diketemukan. Demikian pula kasus-kasus perkawinan yang dilakukan seseorang di suatu negara yang diragukan keotentikan dokumen pernikahannya. Namun demikian akan sangat tidak masuk akal apabila Pengadilan Agama menetapkan suatu pernikahan yang belum dicatatkan padahal pernikahan itu dilakukan setelah adanya peraturan perundang-undangan yang jelas. Keputusan yang dirasa lebih adil, yang dapat diambil kiranya menghukum pemohon terlebih dahulu karena pelanggaran yang telah dilakukannya atas undang-undang (perkawinan) sebelum memeriintahkan KUA mencatat pernikahannya berdasar penetapan pengadilanagama. Tetapi dalam hal ini kita harus tetap menghormati hasil pemikiran para hakim itu karena otoritasnya dan kita menerima apapun keputusannya.

3.    Antisipatif : Merubah ketentuan dalam undang-undang perkawinan
Ada wacana di kalangan legislatif untuk merubah pasal dalam undang-undng nomor 1 tahun 1974 ini, antara lain pasal sebagaimana tersebut di atas dengan kata “wajib” sehingga kalimat lengkapnya berbunyi : “Tiap-tiap perkawinan wajib dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku[20].
Namun menurut hemat penulis apabila hanya sebatas ini yang dilakukan, maka dapat dikatakan tidak akan ada perubahan yang mendasar dalam perubahan ini. Apalagi tanpa disertai sangsi yang lebih jelas dan lebih tegas. Dalam hl ini penulis lebih tertarik dengn usulan sdr. Ghufran Suudi yang menekankan perlunya penyertaan masalah pencatatan nikah itu menjadi bagian dari rukun (unsur) yang harus terpenuhi dalam suatu pernikahan sehingga dapat dikatakan bahwa rukun nikah itu adalah “pencatatan”. Dengan demikian maka pencatatan menjadi elemen hukum material bukan hanya sebatas hukum formal-prosedural sehingga tidak lagi menjadi dasar penetapan nikah sirri sebagaimana yang dapat kita simak dalam beberapa penetapan pengadilan agama sebagaimana telah disebutkan di atas. Akibatnya akan tertutuplah solusi dengan mekanisme itsbat dan tentu ini kan berdampak. Di samping kiranya akan mengundang kontroversi dan perdebatan berkepanjangan di kalangan ulama kita.

Kesimpulan
1.     Pernikahn sirri dalm arti melaksanakan pernikahan secar benar menurut ketentuan agama (Islam) namun tidak diawasi dicatat oleh instansi yang berwenang harus dihindari karena adanya madlorot yang menyertainya.
2.    Alasan yang mendasari masyarakat melaksanakan pernikahan sirri antara lain karena alasan ekonomi, birokratis, tradisi dan agama. Namun pernikahan sirri yang mereka lakukan kebanyakan hanya bersifat sementara saja.
3.    Soslusi yang dapat dilakukan dalam menghadapi pernikahan sirri di masyarakat dapat dilakukan dengan upaya preventif dengan menunjukkan dampak negatif pernikahan sirri, upaya kuratif dengan mengajukan itsbat di Pengadilan Agama dan upaya antisipatif dengan mengubah ketentuan undang-undang melalui mekanisme legislatif.

Penutup
Pernikahan sirri yang dilakukan masyarakat kita pada kenyataannya berbeda dengan pernikahan yang dilkukan tanpa saksi sebagaimana yang dilarang oleh Nabi. Sangat jauh berbeda pula dengan pernikahan kampung yang pelaksanaan tanpa memperhatikan aspek agama. Meskipun sama-sama dikategorikan sebagai akad nikah di bawah tangan atau liar menurut kacamata undang-undang, namun pernikahan sirri masih harus dilihat dari sisi adanya ketatan para pelaku terhadap aturan agamanya, hanya saja karena beberapa sebab ia enggan atau belum mengikuti prosedur pernikahan yang benar. Maka selanjutnya menjadi tugas kita bersama untuk menyadarkan mereka agar dapat melaksanakan pernikahan secara benar dan prosedural. Pernikahan yang dilakukan mengikuti peraturan perundang-undangan akan membawa pelaku kepada ketenagaan hidup karena mendapatkan perlindungan hukum dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan keluarga.
Demikianlah uraian yang dapat kami sampaikan di hadapan bapak-bapak kepal KUA kecamatan se-kabupaten Bantul. Harapan kami, sekecil apapun semoga uraian ini ada manfaatnya yang dapat kita petik, paling tidak sebagai tambahan wawasan dan khazanah pemikiran bagi kita semua. Akhir kata, tentu uraian yang singkat ini tidak luput dari berbagai kesalahan dan kekhilafan. Oleh karena itu perkenan kami mohon dimaafkan dan mohon koreksi sepenuhnya.




[1] Dipresentasikan pada acara Pertemuan Anggota Ikatan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan se-Kabupaten Bantul (IK3B), di rumah Bapak Muhammad Taufik, MA./Rumah Makan “Niki Mawon”, Wonokromo, Pleret, Bantul, Rabu, tanggal 15 Juli 2009
[2] Penghulu Madya, Kepala KUA Kecamatan Pandak, Kab. Bantul
[3] Muhammad Taufik dalam Study Analisisnya tentang Nikah Sirri, IK3B, Mei 2009
[4] Muhaimin, Praktek Kawin Sirri di Masyarakat Islam Daerah Istimewa Yogyakarta, Penelitian Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1993, hal. 21.
[5] Sujari Dahlan, Fenomena Nikah Sirri, Bagaimana Kedudukannya Menurut Hukum Islam, (Surabaya :Pustaka Keluarga, 1996), hal. 35
[6] Sayyid Sabiq, Fiqhussunah, Beirut : Daarul Fikri, 2006, Juz II hal. 480
[7] Isib., hal. 574
[8]Muhaimin, Praktek Kawin Sirri di Masyarakat Islam Daerah Istimewa Yogyakarta, hal. 21
[9] Masfuk, “Nikah Sirri, Nikah di Bawah Tangan dan Status dan Status Anaknya Menurut Hukum Islam dan Hukum Postif”, Mimbar Hukum, Nomor 28 Tahun VII, 1996, hal. 10-11
[10] QS : 2, ayat 282
[11] QS : 4, ayat 21
[12] Abdul Ghofur Anshari, Praktek Perkawinan di Bawah Tangan dan Peluang Legalisasinya di Daerah Istimewa Yogyakarta, Laporan Penelitian, FH-UGM dan Depag RI, 2003, hal. 7.
[13] Ibid., hal. 7
[14] Ibid, hal. 8
[15] Ibid, hal. 8.
[16] Ibid, hal. 9.
[17] Sewaktu bertugas di KUA Kecamatan Jetis (2006), saya pernah didatangi seorang bapak dengan rona kecewa. Dengan nada sedih beliau mengemukakan rasa penyesalannya yang mendalam kenapa tidak mengikuti saran yang diberikan KUA agar puterinya dinikahkan saja secara resmi meskipun dengan suasana seadanya. Singkat kata bapaknya lebih memilih menikahkan putrinya tanpa pengawasan KUA (sirri). Maksud bapaknya memang baik yaitu agar putrinya mendapat kepastian dan pada saatnya nanti menikah di KUA. Namun apa kehendak di kata, ternyata Tuhan berkata lain. Menantu yang anggota Polri itu tewas saat bertugas di Nangro Aceh Darussalam. Kini isterinya di rumah sendiri ditinggal suami dengan anak yang ada dalam kandungan, dan hak pensiunpun tidak ia terima. Waktu itu saya sarankan untuk mencoba, kalau mungkin, memohon penetapan nikahnya ke pengadilan agama.
[18] Lihat Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974, juga Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
[19] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi : Times Press, 1987, hal. 210
[20] Ghufron Su’udi, Pemberantasan Nikah Sirri dalam RUU-HTPA, Majalah Bhakti, 217 Juli 2009

0 comments:

Posting Komentar