BENARKAH ISLAM MENGANJURKAN POLIGAMI ?
Oleh : Ahmad Fauzi, MSI.
Saat ini di mana dunia tengah berjuang dan berupaya mensejajarkan kedudukan lelaki dan perempuan (gender) dalam berbagai bidang, melindungi dan memberikan hakhak wanita., seperti pendidikan, kesehatan, politik, hak memilih pasangan hidup dan seterusnya, maka Islam harus mempunyai andil untuk ikut serta mewujudkannya. Menjadi sebuah pertanyaan, bagaimana dapat menghargai dan menghormati perempuan, jika masih ada ajaran-ajaran tertentu, di dalam agama Islam yang difahami justru tidak menempatkan perempuan dalam posisinya yang setara dengan lelaki, seperti halnya masalah poligami.
Ayat Al-Qur'an yang sering dijadikan landasan legitimasi terhadap praktek poligami adalah Surat An-Nisa' ayat 3: yang artinya :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [1]
Ayat ini bagi sebagian orang yang propoligami dianggap sebagai dasar anjuran atau paling tidak hak laki-laki untuk beristri lebih dari satu. Mereka juga berdalih bahwa, perbuatan itu untuk mengikuti sunnah Nabi Muhammad saw. Dan bahkan dengan berpoligami, seseorang dipandang semakin baik pengamalan keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering muncul misalnya, "poligami membawa berkah", atau "poligami itu indah", dan yang lebih populer adalah "poligami itu sunnah".
Jika dikaji lebih dalam, sebenarnya ayat tersebut tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim dan janda korban perang. Perilaku poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi saw., menimbulkan pertanyaan mendasar: jika memang dianggap sunnah, mengapa Nabi saw tidak melakukannya sejak masa-masa awal berumah tangga?
Sepanjang hayatnya, Nabi saw. lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Justru hal itu dilakukan Nabi di tengah masyarakat Arab Jahiliyah yang menganggap poligami adalah lumrah dan lambang ketinggian derajat laki-laki. Sebagaimana kita ketahui di masa lalu dan bukan hanya terjadi pada bangsa Arab saja, para laki-laki memiliki banyak isteri, hingga ada yang mencapai ratusan orang. Barangkali hal itu terasa aneh untuk masa sekarang. Tapi percayalah bahwa gaya hidup manusia di masa lalu memang demikian. Dan bukan hanya tradisi bangsa Arab saja, melainkan semua bangsa. Sejarah Eropa, Cina, India, Afrika, Arab dan nyaris semuanya, memang terbiasa memiliki isteri banyak hingga puluhan. Bahkan para raja di Jawa pun punya belasan selir.
Rumah tangga Nabi saw. bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung lebih dari 25 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itupun dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika belum ada lembaga sosial yang memberikan solusi perlindungan.
Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi saw.[2] Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakar ra. Ini berarti kurang dari sepuluh tahun dari sisa hidup beliau. Dengan demikian, sebenarnya kurang beralasan pernyataan poligami itu sunnah atau dianjurkan agama Islam.
Selain itu, ungkapan poligami itu sunnah juga merupakan penyederhanaan masalah. Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunnah, mubah bahkan bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami.
Seorang ahli tafsir Indonesia Buya Hamka dalam kitabnya Al-Azhar menyatakan bahwa walaupun poligami tidak dilarang, tetapi ia lebih cenderung menganjurkan monogami berkata "Alhasil: pernikahan yang bahagia dan dicita-citakan (ideal) adalah beristeri satu. Pernikahan seorang laki-laki dengan seorang perempua,.mMendirikan rumah tangga bahagia...[3]."
Kecenderungan Hamka terhadap monogami ini karena realitas obyektif yang ia lihat dari keburukan yang ditimbulkan oleh poligami, yaitu tidak adanya ketenteram batin dan keadilan hati, sebagaimana nasehat gurunya yang beristeri dua kepada Hamka agar tidak poligami, karena hatinya tidak tenang akibat poligami. Hamka juga melihat kenyataan para orang-orang besar (datuk, sidi, bagindo dstnya), atau para tuan guru di Minangkabau yang menikah hingga empat isteri: mereka tidak mempunyai tempat berteduh yang tetap dan mereka tidak tenteram.[4] Berangkat dari kenyataan inilah, Hamka menyimpulkan bahwa Islam menganjurkan pernikahan monogami.
Sikap yang radikal ditunjukkan oleh pembaru dan penafsir kontemporer berkebangsaan Mesir, yaitu Muhammad Abduh dalam tafsirnya al-Manar. Baginya diperbolehkannya poligami karena keadaan memaksa pada awal Islam muncul dan berkembang. Pertama, saat itu jumlah pria sedikit dibandingkan dengan jumlah wanita akibat mati dalam peperangan antara suku dan kabilah. Maka sebagai bentuk perlindungan, para pria menikahi wanita lebih dari satu. Kedua, saat itu Islam masih sedikit sekali pemeluknya. Dengan poligami, wanita yang dinikahi diharapkan masuk Islam dan memengaruhi sanak-keluarganya. Ketiga, dengan poligami terjalin ikatan pernikahan antarsuku yang mencegah peperangan dan konflik.
Kini, keadaan telah berubah. Poligami, papar Abduh, justru menimbulkan permusuhan, kebencian, dan pertengkaran antara para istri dan anak. Efek psikologis bagi anak-anak hasil pernikahan poligami sangat buruk: merasa tersisih, tak diperhatikan, kurang kasih sayang, dan dididik dalam suasana kebencian karena konflik itu. Suami menjadi suka berbohong dan menipu karena sifat manusia yang tidak mungkin berbuat adil. Pada akhir tafsirnya, Abduh mengatakan dengan tegas bahwa poligami itu hukumnya haram, karena syarat yang diminta adalah berbuat adil, dan itu tidak mungkin dipenuhi manusia.[5]
Poligami dalam Pandangan Ushul al-Fiqh
Ushul al-fiqh merupakan khazanah kekayaan ilmu yang secara langsung atau tidak langsung, turut memperkaya model keagamaan umat Islam. Pelaksanaan syariat Islam akan susah seandainya ilmu ini tidak ada, sebab ushul-fiqh dianggap sebagai penuntun fiqh yang merupakan jawaban bagi kehidupan. Ilmu ini dapat menjawab beberapa masalah yang diajukan.
Dalam hal poligami ini, Islam telah menimbang antara faktor kemaslahatan dan mafsadah, antara manfaat dan bahaya, sehingga jika kita kembali ke ayat 3 an-Nisa', poligami diperbolehkan hanya bagi orang yang benar-benar membutuhkan dan memberikan syarat kepadanya bahwa ia mampu untuk memelihara keadilan, dan takut untuk berbuat penyelewengan dan kecenderungan yang tidak sehat. Maka menurut Syekh Yusuf Qardhawi,[6] siapapun yang tidak yakin terhadap dirinya atau kemampuannya untuk berlaku adil, maka diharamkan baginya untuk menikah lebih dari satu.
Dalam kaidah ushul( ) dinyatakan bahwa semua hal yang menyebabkan terjadinya perbuatan haram adalah haram ( )
Ini berarti dasar poligami seharusnya dilihat sebagai jalan darurat. Kaidah fiqh memang memperkenankan hal yang dilarang dalam keadaan darurat,( )
"dharar (bahaya) harus dicegah sedapat mungkin" ( ) dan "Sesuatu
yang dibolehkan karena darurat dibatasi sesuai kadarnya"( ) juga "menolak mafsadat itu didahulukan daripada mengambil manfaat"(
) [7]
Dan berdasarkan kaidah perubahan hukum mengikuti perubahan kemaslahatan sesuai dengan "maqasid asy-syari'ah", bahwa pada masa Nabi saw., disunnahkannya poligami untuk melindungi yatim dan para janda mati. Jika keadaan perempuan kini lebih baik, yakni sederajat dengan laki-laki dan harta anak-anak yatim bisa diatur lembaga keuangan profesional, maka konsekwensinya hukum kebolehan poligami juga berubah.
Nabi dan larangan poligami
Dalam kitab Ibn al-Atsir[8], poligami yang dilakukan Nabi saw. adalah upaya transformasi sosial. Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.
Sebaliknya, yang dilakukan Nabi saw. adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami. Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi ra., Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.
Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: "Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus"[9] Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi saw. menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.
Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan bahwa Islam menganjurkan poligami atau poligami itu sunnah sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi saw. yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib ra. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan yang mendukung poligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.
Nabi saw. marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad saw., akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." [10]
Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti disabdakan Nabi saw., poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.
Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunnah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak dikehendaki Nabi saw. Dan, Ali bin AN Thalib ra. sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah ra. wafat.
Poligami bukan anjuran
Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunnah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda.
Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab, secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, namun itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Bahkan, di dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki lebih tinggi.
Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip yang dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang diperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan yang dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali bangkai.
Dalam fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami, predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi saw. sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).
Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipil dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami dalam realitas sosial masyarakat.[11]
Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimaan disaksikan Muhammad Abduh, ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan. Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan poligami. Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW: "Tidak dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain."[12]. Dan ...dengan demikian, maka poligami tidaklah dianjurkan dalam Islam.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.
[1] Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya.
[2] Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, (Jakarta : Pustaka Jaya, cet.IV, 1980). Hlm. 352-369.
[3] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1987, Juz IV), hlm.239.
[4] Ibid., hlm. 231 dan 238
[6] Yusuf Qardhawi, Halal Haram dalam Islam (terj. Wahid Ahmadi), (Solo: Era Intermedia, cet. I, 2000), hlm. 271.
9 Lihat pada Jaami’ al- Ushuul, juz XZII, 108-179
[11] Baca Yusuf al-Qardhawi, Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’a dan Sunnah, Bab “Poligami” juga dalam “Fatwa-fatwa kontemporer”.
0 comments:
Posting Komentar