Minggu, 19 Februari 2012

Tunangan dan Tukar Cincin


Tunangan dan Tukar Cincin

A. MASALAH

Salah satu kebiasaan masyarakat yang masih sering dilakukan sebelum pelaksanaan akda nikah adalah tunangan yang biasanya disertai acara tukar cincin. Tunangan  dimaknai sebagai kesepakatan awal  antara dua keluarga untuk menjodohkan putra putrinya. Acara tersebut satu sisi bernilai positif karena mengandung semangat silaturahmi, tetapi dampak dari tunangan ini kadang oleh calon suami dan calon istri dimaknai sebagai ikatan setengah resmi, sehingga keduanya seakan sudah boleh melakukan hal-hal yang terlarang. Nah sebenarnya bagaimana pandangan syariah tentang tunangan ini, dan bagaimana pula hokum laki-laki memakai cincin kawin
B. PEMBAHASAN
Dalam Agama Islam tidak dikenal istilah  tunangan, tetapi yang dikenal adalah khitbah. Khitbah adalah pernyataan kehendak seorang laki-laki untuk menikah dengan seorang wanita, di mana seorang wanita yang telah menerima khitbah, dia tidak boleh menerima khitbah dari orang lain. Meski ada banyak kesamaan, namun tetap saja antara kitbah dengan tunangan, keduanya punya perbedaan prinsipil. Misalnya, dalam khitbah tidak mengenal istilah cincin khitbah, sementara dalam tunangan, lazimnya ada semacam tukar cincin untuk menandakan bahwa pasangan itu sudah saling mengikat diri.
Cara Pandang Keliru
Kita perlu lebih berhati-hati dalam masalah tunangan ini.  Di mana seringkali kita memandang kalau sudah bertunangan seolah-olah sudah setengah suami isteri. Lalu sudah menjadi maklum kalau pasangan yang sudah bertunganan boleh jalan-jalan berduaan, nonton, berboncengan sepeda motor, naik mobil bareng hanya berdua. Seolah-olah orang bilang, "Ah, biarin aja. Toh kalau ada apa-apa (baca: berzina sampai hamil), sudah ketahuan yang bertanggung-jawab." Pola pikir seperti ini tentu saja pola pikir yang sesat dan menyesatkan. Sebab pertunangan sama sekali tidak pernah menghalalkan yang haram. Jangankan setengah perkawinan, sepersepuluhnya pun belum. Sama sekali tidak ada yang halal kalau baru sekedar pertunangan. Maka setiap langkah yang dilakukan oleh pasangan yang baru sekedar bertunangan, apakah itu berduaan tanpa mahram atua sampai kepada zina betulan, semua adalah langkah dan perbuatan syaitan. Hukumnya haram sampai selesai akad nikah.
Adapun khitbah (lamaran) adalah sebuah langkah menuju kepada pernikahan yang sah. Secara posisi, bila seoang wanita telah menerima sebuah khitbah, dia tidak boleh menerima khitbah dari orang lain. Akan tetapi, dia tetap berhak untuk membatalkan khitbah itu bila ada alasan yang syar''i dan logis. Adanya khitbah ini juga berperan untuk memberikan jeda waktu bagi kedua belah pihak sebelum memutuskan untuk menikah secara sah. Tetapi seorang laki-laki yang telah mengkhitbah seorang wanita, tidak lantas diperbolehkan untuk berduaan atau jalan bersama tanpa mahram.
Para ulama semua sepakat untuk mengharamkan laki-laki memakai emas dan perak, seperti dalam bentuk cincin, kalung, anting, gelang, jam atau pun asesoris yang menempel pada pakaian.
Nyaris tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini untuk keharamannya. Hal itu lantaran dalil-dalilnya memang sangat jelas dan tegas. Di antaranya adalah:
Dari Abi Musa ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Telah diharamkan memakai sutera dan emas bagi laki-laki dari umatku dan dihalalkan bagi wanitanya.” (HR Turmuzi dengan sanad hasan shahih)
Ali bin Abu Thalib berkata, ”Aku melihat Rasulullah SAW memegang sutera di tangan kanan dan emas di tangan kiri seraya bersabda,”Keduanya ini haram bagi laki-laki dari umatku.” (HR Abu Daud dengan sanad hasan).
Umumnya para ulama tidak membedakan apakah kadar emas itu 24 karat atau kurang dari itu. Sebab nama emas tetap saja lekat meski kadarnya berkurang. Namun benda yang dicat dengan warna emas, tidak bisa dikatakan sebagai emas. Sehingga tidak menjadi masalah bila seorang laki-laki menggunakan pakaian atau perlengkapan imitasi emas. Hukumnya tidak haram, sebab kenyataannya memang bukan emas, melainkan hanya rupa dan warnya saja. Yang haram adalah emasnya, bukan kemiripannya.
Cincin Kawin dalam Pandangan Syariah
Kalau kita runut dan telusuri dengan teliti, rupanya budaya pemakaian cincin kawin tidak dikenal dalam Islam, meski cincin itu bukan dari emas. Ini lebih merupakan produk budaya kelompok masyarakat tertentu. Sebagian ulama mengatakan bahwa cincin kawin itu berasal dari budaya barat. Karena itulah ada sementara pendapat yang mengharamkan penggunaan cincin kawin karena dianggap menyerupai dengan orang kafir. Dengan dalil sabda Rasulullah SAW, "Siapa yang menyerupai orang kafir, maka dia termasuk bagian dari mereka."
Meski demikian, masih perlu dipelajari lebih lanjut apakah memang tukar cincin itu sendiri merupakan bagian dari agama mereka atau sekedar kebiasaan yang telah menjadi ‘urf dan bebas nilai. Dalam hasdits Nabawi disebutkan bahwa salah satu bentuk mahar adalah cincin meskipun hanya terbuat dari besi. Rasulullah SAW bersabda, ”Berikanlah mahar meski hanya berbentuk cincin dari besi”. Namun hadits ini tidak menyiratkan adanya bentuk tukar cincin antar kedua mempelai, tapi lebih merupakan anjuran untuk memberi mahar meski hanya sekedar cincin dari besi. Jadi bukan cincin kawin yang dimaksud. Dan cincin dari besi itu diberikan pihak laki-laki sebagai mahar kepada pihak isteri. Sedangkan pihak isteri tidak memberi cincin itu kepada laki-laki.
C. KESIMPULAN
Pemakaian cincin emas haram hukumnya dengan dalil yang tegas, ada pun cincin selain emas masih ada perbedaan pendapat, karena keharamannya hanya disebutkan oleh sebagian ulama dengan ijtihad. Dan tidak ada dalil yang tegas untuk mengharamkannya. Oleh karena itu bila kondisi memaksa harus pakai cincin, buatlah imitasinya, dan itupun dipasang setelah akad nikah, agar kita tidak melakukan sesuatu yang diharamkan Allah SWT. Cincin imitasi sekilas sangat mirip dari emas asli bahkan bisa lebih bagus.
Dimodifikasi dari ulasan ustad Sarwat, LC oleh : Rohwan, S.Ag. Penghulu Muda KUA Kec. Pandak

0 comments:

Posting Komentar